Maknai Natal Tanpa Natal

Ombak yang pasang di malam kemarin, sama dengan malam ini. Tak ada bedanya. Tanah yang lembab sebab hujan kemarin, sama dengan gerimis sekarang. Tak ada bedanya. Gulitanya sang langit tak menampakkan perubahan jua. Ah bukankah sekarang Natal?

Bukankah Natal seharusnya menjadi keistimewaan? Menyatukan dan menghangatkan diri dengan keluarga, Tuhan, dan diri sendiri. Lihat, sekarang hujan. Akankah hujan ini menjadi pertanda bahwa Tuhan sedang menemaniku? Entahlah, karena sekelilingku hening tak menggema, hening yang tak menggetarkan hati.

Bangunan yang sedang kutinggali selama liburan ini--yang kusebut rumah--tak meneduhkanku. Aku masih dapat merasakan kekosongan dunia yang menghujani relungku. Sama halnya dengan jalanan yang sunyi, nyaris gelap gulita, hanya terang lampu teras beberapa rumah di pinggir jalan yang memperlihatkan adanya kehidupan di dalamnya.

Sehampa inikah Natal? Tidak, seharusnya Natal tetap menjadi Natal. Ataukah 'Natal' hanya sebuah kata yang mewakili kelahiran, sebuah momen yang dirayakan dengan sukacita dan pengharapan? Atau mungkin aku harus berlari ke Roma untuk memperoleh sukacita itu? Gila, ya memang aku gila. Bila Natal laksana pemahaman terakhirku, sekalian saja aku duduk di pangkuan Tuhan untuk meminta sukacita yang seharusnya menjadi bagianku. Ah mengapa sepandir ini aku jadinya?

Aku tak pernah memiliki pohon Natal, tak pernah menghiasi pohon Natal, terlebih mendapat kado di bawah pohon Natal. Namun, banyak Natal sebelumnya yang melarutkanku dalam damai dan tawa di tengah keluargaku, meskipun tak bersama pohon Natal. Lantas, mengapa segala perasaan itu sekarang lenyap dari diriku? Apakah aku hamba paling berdosa hingga tak mampu merasakan malam yang begitu kudus?

Tuhan, Allahku. Allah Yang Bapa, Allah Yang Putra, dan Allah Yang Roh Kudus. Kuyakini bahwa sebuah Natal mempunyai berbagai makna dengan cara yang berbeda untuk disambut dan tak terbatas kepada siapapun. Hingga sekiranya tak semua orang dapat melaluinya dengan indah, dan tak semua orang pun mampu melaluinya sebelum raga menjadi debu kembali. 

Jadi, bilamana perlu, ajarilah aku ya Bapa untuk terus bersyukur dengan hari-hari yang Engkau berikan padaku. Juga, bimbing aku untuk mengerti bahwa Natal lebih dari sekadar merayakan dan memahaminya tanpa harus berkecil hati.

Banjarmasin//12.25.12//