Kehausanku

Bagaimanapun, aku tak pernah lelah berbicara dalam kata sebab pesakitan yang tersangat. Jadi, maafkanlah kebisuan yang tak menentu selama ini.

Begitu terasa segala dari mereka yang memerhatikanku. Awan menatap tajam ke dalam bola mataku. Matahari menghangatkan hariku. Angin sepoi-sepoi menarikan juntaian rambutku. Menggodaku untuk merebahkan diriku di atas rumput hijau. Sungguh, mereka amat memanjakanku.

Sengatan dari matahari tak berarti. Karena rindangnya pohon besar menghilangkan peluhku. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Ingin ku buat waktu merangkak, bahkan tertidur. Agar aku mampu merasakan semuanya lebih lama lagi. Tak rela kulepaskan keadaan ini hanya untuk nestapa yang akhirnya memisahkan kita.

Rentan diriku tanpamu. Pohon-pohon besar terus menggugurkan daun-daunnya yang kering. Angin kencang memaksa pasang pada laut untuk meninggi. Ombak menghantam karang hingga menangis karena sakitnya. Senja seolah berlari ketakutan meninggalkan semua yang ada. Langit pun berubah menjadi kumpulan awan gelap, bukan untuk menangis tapi untuk mengamuk. Badai pun datang dan menjilat apapun di depannya tanpa mau mengenal dan dikenal.

Tak ada banyak hal yang bisa kulakukan. Aku terlalu takut tinggal pada semu yang menipu. Tempat dimana aku bisa berpura-pura bahwa disini baik-baik saja. Jujur, aku menikmati atas keindahan yang dulu membakar keagungan parasmu setiap detik. Kini hanya tinggal aku seorang diri. Ditinggalkan oleh seseorang. Baik rasanya karena kejujurannya, meski terlambat. Tak apa bila aku pernah mendapatkan relung kosong. Tak ada yang hidup dalam kita. Itulah yang membuat ku ingin memohon pada seseorang untuk membawaku pergi dari sini.

Sebab banyak hal yang menyiksaku disini. Lebih rapuh rasanya di kala melihat senja menerangi senyummu yang bukan milikku. Lebih tersayat mendendangkan nyanyian di antara gemuruh angin yang terkadang mengingatkanku akanmu. Lebih meringis yang tersangat di ketika aku mencoba terlelap dan kau datang dengan rengkuhan pelukmu dalam mimpi. Lebih sakit dengan segala pilu sewaktu aku harus meninggalkan jejak demi jejak dengan tawa di sekelilingku. Dan paling terasa dimana seluruh rasa itu masih berdenyar dan berdentum lebih keras ketika kau melintas di hadapanku tanpa sepenggal katapun. Seolah aku tak lebih dari sebatu tak beradab dan layak untuk mendapatkannya.

Entah harus kukisahkan kepada siapa. Tak ada yang ingin berbicara, mendengar, bahkan sudi menatap ceritaku. Tak yakin, namun seperti ada yang menjerit dan meronta-ronta dalam bawah sadarku. Mungkin kegilaan tentangnya. Mungkin itu sebabnya.

Ada sesuatu yang tak bisa kukendalikan. Kemelut yang pernah mencumbu milik terdalamku yang hanya ingin kuberikan padanya, masih terdengar sayup-sayup oleh apapun dan siapapun. Kepada sang mentari dengan kilauan dirinya yang pernah menjiwai sebongkah hati namun kini lekang. Menjauh dan tak bisa kupaksakan untuk tinggal lebih lama disini.

Lalu bagaimana? Telagaku penuh, sudah tak terbendung, tumpah ruah. Hingga mengisi seluruh kekosongan jurang yang dalamnya tak tahu seberapa bisa menjadikan aku sesak. Aku telah terbiasa membayang dalam siluet dimensiku sendiri.

Dalam terjagaku, aku harus mengakui untuk ragu yang meragu. Bahwa duniamu bukanlah jalanku. Jiwamu bukanlah caraku. Serta inginmu bukanlah padaku. Sebab dirimu hanya kelabu atas candu bagi anganku.

Comments