Duri Bulan


Seperti melawan arus saja, birunya dapat menghanyutkanku. Terlalu melelahkan aku mencari-cari udara. Tiada napasnya.

Bagai meratapi gaung sesenggukan pada bayangan di permukaan genangan hulu. Amat menghentakkan detak sanubariku yang aku sendiri tak tahu seberapa kelamnya. Tiada jantungnya.

Laksana menghenyakkan dada di antara dada paling rusuk. Sangat sesak dari bawah pengapnya telagaku yang kelak mendiang. Tiada hampanya.

Bak mereguk seluruh sunyi dalam dadamu. Sungguh menakutkan berjalan dalam kebisuan. Tiada merdunya.

Perbuatlah sesuatu, sayang.

Biar aku tak kembali lagi esok di kala terbenam, ditemani oleh ilalang yang terbakar matahari sambil melihat burung-burung terbang mengejar batasnya senja kemerahan--seperti warna bibirmu.

Biar jera aku dan meninggalkan sesosok yang bermandikan cahaya--hingga hanya bisa kulihat bayang hitam--berdiri tegap di pesisir pantai dari antara celah jari-jariku.

Biar kelopak mataku meleleh dalam kesungguhan bayang yang telah terbagi menjadi dua dan terpaut dalam genggaman di atas kerapuhan suara hati yang terngiang.

Biar aku pulang dan mencari sendiri jalanku--tanpa lampu jalan, hanya kesesatan-- sampai menemukan mawar merah berduri.

Lantas, mengapa kamu tidak ajari saja aku menghantam tulang di atas karang untuk mengabdikan namaku tanpa tahumu ragaku telah lelap terbawa ombak? Atau ajari aku memecah luka menjadi tetesan embun yang terdiri dari ruang dan hampa. Oh ya, atau cukup ajari saja aku bagaimana cara menyanyi dalam samudera.

Sangat mudah untuk diajarkan padaku. Benar 'kan? Kamu saja tak menangis atas lekangnya mentari. Kamu tak menyimpan haru atas kabut yang menelan kehangatan. Kamu tak peduli atas awan yang menipiskan sinarnya di ujung dunia. Kamu malah bersendar gurau atas dan dengan kehadiran bintang. Mengapa?

Sebab kamulah bulan. Kamu sendiri bulan yang membulankan aku dan seluruh langit. Sesampainya lautan mencari pasang untuk mendekapmu. Sedangkan aku hanyalah bintang penghias yang dipisahkan oleh tebalnya lapisan atmosfer bumi. Sehingganya aku hanya bisa memintamu untuk menungguku beberapa tahun lagi dimana mungkin aku menjadi bintang pembulan.

Jadi...

Perbuatlah sesuatu, mantan.

Supaya aku hilang dalam maut yang masih mengizinkan aku berbicara dengan nestapa untuk menitipkan telagaku pada dawai yang tak pernah menggemakannya kepada siapapun. Bahkan pada pesakitan sekalipun.

Biar, biar aku mati berdarah, tenang dengan mawar pemberianku sendiri. Daripada aku mati membeku, meringis dengan tangan kosong.

Comments