[UDF] Tersenyumlah, Sebab Tak Ada Pilihan Untuk Kalah
Selamat pagi menjelang siang, selamat mendengar kisah saya. Harapan saya tentu Anda dan pembaca tulisan Anda dapat menikmati cerita saya ini tanpa memberi kesan buruk di pikiran siapapun. Tapi, sebaik apapun usaha saya pasti akan ada nista kecil yang tumbuh di ranumnya dunia. Bukan berarti saya bersikap pesimis, hanya saja kita harus membicarakan realita dimana hitam selalu mengekor putih, bukan?
Perkenalkan, saya seorang psikolog yang merupakan mantan salah satu murid dari psikolog tenar di masa kejayaannya. Saya bangga bukan karena terkait hubungan dengan seorang yang dapat mendongkrak popularitas saya, melainkan jadi salah seorang yang beruntung untuk dipahat oleh tangan besi beliau. Rasa kebanggaan saya tumbuh ketika saya memiliki waktu yang lebih banyak untuk mendalami karakter dan kepribadian beliau secara mengalir. Kendati, di awal saya kurang tertarik dengan dunia psikis ini.
Pernah satu kali saya mati. Saya hidup tanpa penentuan yang jelas. Ketika di kelas padus, kabar tak baik itu mengguncang dunia saya. Ayah saya meninggal dalam kecelakaan yang telah melewati penyelidikan, dikatakan bahwa itu adalah sabotase dari oknum tak bertanggung jawab. Selesai. Oknum tak bernama itu hanya sepenggal jawaban yang Ibu saya peroleh. Siapa dan dimana oknum tersebut, mereka tak menjawabnya. Mereka berdalih tidak ingin memperpanjang masalah ini. Hari keparat yang membuat saya merutuki mulut-mulut binasa itu. Bagaimana bila kejadian ini menimpa pada mereka? Masih sanggupkah mereka berbicara seperti itu?
Ibu saya menangis berhari-hari sampai air matanya kering dan duduk di pinggir kolam ikan yang terletak di pekarangan rumah. Beruntung, kami masih memiliki aset yang ditinggalkan oleh Ayah. Namun, materi itu seolah-olah terbakar oleh ratapan Ibu yang mengiris hati. Ibu menjelma jerangkong hidup yang kehabisan napas. Bola matanya terus tenggelam dalam sekelompok ikan-ikan yang berenang kesana kemari. Sesekali, akan terdengar tembang lagu Jawa ketika saya menyiapkan makan malam. Seketika, seluruh waktu terbungkus ngilu yang pekat walaupun hanya untuk sesaat. Derai gulita mulai menghiasi suasana itu. Masa-masa yang terpuruk.
Suatu hari, sepulang sekolah, saya menemukan rumah dalam keadaan berantakan. Saya mencari Ibu segera. Kursi goyang yang biasa ditempati beliau tampak kosong. Kriminalitas dari berita-berita dari TV mulai menghantui saya. Saya takut ini dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab tersebut. Saya berteriak memanggil Ibu tapi tetap saja tak ada jawaban. Cemas dan tangis mulai mengejar ketegaran saya. Sesampainya saya tersungkur atas apa yang saya lihat. Seseorang yang menggantung di langit-langit kamar Ayah dan Ibu saya. Sosok yang saya kenal dari belakang; Ibu.
Gairah hidup tak menyentuh saya. Saya nyaris menyerupai Ibu saya selepas kepergian Ayah saya. Lidah saya terlalu kelu. Hanya sudut bibir yang membentuk senyum kecil. Mungkin saya punya alasan untuk ikut meregang nyawa juga, tapi akan jadi sia-sia semua petuah orangtua saya. Namun, saat keluarga besar saya yang baru menampakkan batang hidungnya satu kali mulai meributkan hak waris dari kekayaan Ayah saya; saya geli. Satu per satu mulai menjilat saya. Secepat mungkin, saya mulai mengiolasi diri.
Kebutuhan pundak untuk meletakkan penat yang berekecamuk, tidak bisa lagi saya pikul seorang diri. Saya berkunjung ke rumah salah seorang paman saya di sebuah kota kecil. Rupanya masih sama seperti yang dulu. Bersahaja dan ramah. Senyumnya senantiasa mengajak seluruh rona di wajah untuk ceria seperti sedia kala. Beliau adalah saudara tiri Ibu yang memutuskan untuk tinggal di Jerman untuk memenuhi kehausan beliau akan pendidikan dalam bidang yang digeluti hingga sekarang ini. Sebab beliau jua, saya menemukan pekerjaan ini.
Setelah beberapa bulan saya tinggal bersama beliau, saya menemukan damai yang menguatkan. Beliau mendorong saya menekuni sebuah bidang yang saya gemari. Namun, saya jelaskan bahwa dunia tarik suara sebuah masa depan yang sesaat. Beliau mencoba memberikan saya pemahaman sampai akhirnya saya menjalani dunia sekarang ini.
Mata saya mulai meraba tentang psikis. Ketentraman bacaan yang mampu menyeimbangkan lereng hati saya. Pengertian melalui kasta yang mendewasakan saya tanpa paksaan melekuk gema masa lalu. Peluruhan gua kecil yang suram dengan belajar tersenyum pada pengadaan setiap harinya. Dan menapaki segala pintu yang sanggup mengetuk kesempatan sampai hari ini. Ya, salah satunya adalah kini kesanggupan saya berbincang dengan Anda atas anugerah Sang Ilahi yang luar biasa.
Jadi, apakah mimpi kecil saya menjadi seorang penyanyi terkubur dalam dialog singkat dengan paman saya? Atau terbang bersama kepergian Ayah dan Ibu saya? Lantas, adakah penyesalan saya mengutamakan dunia psikis ini? Bagaimana bila sayalah pembunuh mimpi yang merangkak menemani setiap alur dinamis hidup saya? Oh atau keadaankah yang melekangkan semua itu? Tidak. Mimpi saya masih jelas berada dalam desah napas saya tanpa menomor duakannya dengan pekerjaan saya ini. Pun saya tidak punya alasan untuk menyalahkan segala sesuatunya yang telah terjadi karena semua itu akan indah pada waktunya; ya sekarang ini. Sebab saya masih terus bermimpi sampai beberapa bulan yang lalu saya mampu membuka kursus olah vokal. Saya sadari bahwa mimpi itu bisa dikembangkan secara otodidak.
Singkat kata, jangan pernah hentikan mimpimu sekeras apapun hidup menempamu. Anda boleh terjatuh hingga terperosok dalam lembah yang dalamnya tidak dapat Anda terka sendiri. Anda boleh menangis bahkan menyangkal bahwa semuanya itu mustahil. Anda boleh memiliki ketakutan yang diciptakan oleh situasi. Semua itu normal dan lahir tanpa bisa dicegah. Tapi, satu hal yang harus Anda tanamkan adalah ketiadaan kata berhenti. Sebab itu semua adalah kerikil untuk melihat seberapa jauh Anda mengerti tentang hidup yang hidup.
Wah, saya berbicara terlalu panjang ya. Ya sudah, kita akhiri saja sampai disini. Sudah masuk makan siang pula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu dan menyesuaikannya dengan jadwal saya. Rasanya akan ada banyak editan yang harus dilakukan sebelum masuk tahap pencetakan. Haha. Kalau begitu, saya permisi duluan ya. Selamat siang.
Comments
Post a Comment