Ia Datang, Hati

"Ketika kecewa mengepakkan lelah, sabar selalu menjadi penawar manis."

Astaghfirullah. Hatiku seperti mengalir kembali setelah derasnya badai membekukanku. Setelah sekian lama jarak tergelar di antara gemingnya kita masing-masing. Kau yang disana dan aku yang disini. Aku bahagia. Kembali bahagia setelah duka terlalu lama bersemayam dalam dadaku.

Aku cinta pada-Mu, Tuhan. Aku cinta padamu, tanah yang kembali menumbuhkan rumput. Aku cinta padamu, awan yang kembali memuntahkan gerimis. Aku cinta padamu, bumi yang kembali berputar pada porosnya. Aku cinta padamu, langit yang kembali melingkupiku. Aku cinta padamu, lelaki yang kembali meski sekadar menjenguk. Oh Tuhan. Betapa luar biasanya kuasa-Mu yang mampu menciptakan hati untuk merasakan.

Seandainya udara mampu melekuk dunia ini menjadi surga, takkan terkira hati yang kutuai ini menjadi sedemikian suburnya dalam sesaat. Semarak di antara lahirnya gempita yang merengkuh. Dadaku mendadak sesak. Sesak menahan gembira penuh makna ini. Aku gembira. Aku gembira. Aku gembira!

Ah, Hati. Bagaimana bisa kau melesat secepat ini dalam ruangku yang sudah berongga? Apa kau sudah lupa bagaimana caranya tersungkur dan peluh mengingat sesuatu yang tak pernah nyata? Apa kau sudah lupa tentang nelangsa yang terus terbakar tanpa pernah tahu padam? Ah kau benar, Hati. Tak sepatutnya aku menciptakan kesedihan selagi mampu bahagia. Sebab aku sendiri tak tahu kapan ia akan menjenguk lagi gubuk renta hati yang sedang terbang ini.

Pernyataan Mbak Herlinatiens mencuat kembali dalam batang-batang saraf yang bercabang di otakku. Adakah pintu yang menunggu ketuk dari jemari yang enggan bernyanyi? Tak bisa kupungkiri bahwa mungkin aku adalah pintu itu. Pintu yang mengalami pelbagai hal dan tetap setia memangku waktu. Pintu yang menyala dalam diam kendati diabaikan beberapa tahun. Pintu yang terus berdoa sesampainya jemari itu mengetuk dan meraih daun pintu itu. Walaupun pintu itu harus terkunci rapat kembali untuk ditinggalkan.

Dengan sebuah tulisan beliau jua aku menjadi teduh. Hati yang tulus selalu sanggup mengatasi perpisahan yang diakibatkan oleh jarak dan waktu. Entah dengan apa aku mampu menanti sebuah kabar singkat mengenai dirinya setelah kita dipertemukan oleh jalur yang berbeda. Hal yang kutahu hanyalah kali ini aku keterbatasan kata-kata untuk melukiskan pencitraan rasa yang teramat puncak kali ini. Bila langit itu surga, alih-alih lapisan atmosfer seperti troposfer, stratosfer, mesosfer, dan lainnya; mungkin akan segera kukirimkan surat sebagai bentuk tanda terima kasihku pada malaikat penjaga pintu surga untuk disampaikan kepada Tuhan.

Bukan. Aku tak bermaksud membanggakan ketangguhan hatiku untuk menunggunya yang kerap kukira sebuah penantian tanpa akhir. Malahan, seringkali aku merasa pandir sebab telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk memikirkan kesehatannya yang mungkin tak pernah memikirkanku bila suatu waktu aku tertidur dalam liang lahat. Hanya saja aku merasa Tuhan kali ini sangat pemurah. Sudi menjawab doa-doaku setelah ribuan kali aku menggigil mendengar jeritan yang merayap dalam dadaku. Ya, untuk kali ini aku akui Tuhan telah memenangkan hatiku.

Kau yang terlampau lama dalam alpamu. Aku yang terlampau lama dalam rinduku. Kemudian kau lekas pergi kembali. Mengingat seseorang yang kau cintai sedang menunggu di luar sana. Ya, kau yang hanya menyapa dalam percakapan kecil dan lenyap. Sapaan yang terjadi secara kecelakaan. Aku tahu maksudmu. Ya, aku sadar.

...

Akulah pohon suci kepedihan
Luruh menjadi sukacita
Selalu abdi pada biduan terkasih
Meski tumbuh tanpa pernah kenal dipetik

...

Biar orang berkata apa mengenai dirimu, aku takkan bimbang. Aku percaya padamu yang sendiri menghadapiku. Aku percaya bahwa kau tak seperti dugaan mereka. Kau bukanlah individu yang angkuh. Kau yang menutup diri dari keramaian. Kau hanya enggan berbicara banyak. Aku tahu. Aku tahu meski aku hanya sekadar melintasi gua hatimu dulu.

Hijaunya alam kembali menggaungkan namamu. Itu bukan sekadar imajiner dari daya ciptaku. Bukan imajinasi yang tercipta sebab rancunya pikiranku. Tapi itu nyata adanya. Aku tak mengada-ada. Aku mampu merabai remuk-remuk tanah yang masih segar. Dinding-dinding pohon yang mengelupas. Tetes-tetes gerimis yang membawa dingin dan melemparku saat-saat kau pergi berlabuh ke lain hati. Kembali aku terseret membuka halaman yang terpenuhi dengan gambaranmu.

Maaf, Sayang. Ini hanya rintihan kecil dari lahar jiwa yang lancang. Berusaha menuruni kasta untuk memberi sujud syukur pada Sang Pencipta. Sedang sebuah tarian sakral asyik beradu dalam dada. Meminta kau duduk lebih lama dan menyentuh dasar hatiku yang masih basah. Menyimak lebih lama pergumulan antara kedalaman hasrat dengan serpihan luka yang berserakan.

Hati. Kali ini diamlah. Tenanglah. Biarkan semesta mengeja bersama logika. Biarkan logika mengecammu sebentar agar kau tahu bahwa aku terlampau malu bertemu dengannya yang terkadang masih terlalu hati. Biarkanlah hati, jangan paksa aku mengikuti gelombang keinginanmu. Biarkan keinginan ini sirna agar aku mengerti bahwa dia memang bukan untukku. Biarkan aku melangkah sebagaimana tanpanya dibawah gema semesta.

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Hati. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih atas segalanya. Aku takkan pernah mampu menyicipi keagungan yang tersudut sekian tahun ini tanpa kalian semua.

Comments