Secangkir Natal

Dad.

Beberapa hari yang lalu, entah bagaimana aku merasa lebih baik. Aku terjaga atau bangun lebih awal. I did some stuff and went to work. But, it was still there. Antara lega dan gelisah. Antara harapan dan beban. Entahlah, Pa. Ada semacam perasaan yang berbeda di waktu yang bersamaan. Berlari dan dikejar. Sesuatu yang ada dan ditiadakan. Mengeja keheningan yang pernah pecah dan yang masih tabu. Semacam pergulatan yang mengangkasa di batas kehilangan. Adakah yang salah? Tidak dan iya. Ah, surga. Dimana kau menyembunyikan terang?

Church.

Sebuah bangunan tak mendefinisikan apapun, selain dekorasi dan bagaimana fungsi bangunan itu digunakan. Ia hanya tempat yang dibentuk sedemikian rupa untuk bisa dinamakan dengan sebutan A, B, C, dan lainnya. Suasana yang terlahir dalam bangunan itu cukup kuat. Tidak ada yang bisa saya katakan tentang bangunan itu walaupun banyak hal yang dapat saya saksikan. Pohon-pohon besar yang bersahabat, kendaraan yang mulai memenuhi parkiran, ibu-ibu yang asyik berbincang (dengan riasannya yang wow), hingga sebuah meja panjang bertaplak putih polos. Tempat dimana langkah kaki saya terhenti sejenak.

Candle.

Bagaimanapun caranya, Anda berhasil memikat kakak saya. Ia memang jauh membutuhkan Anda ketimbang saya ketika PLN mematikan listrik. Tapi, tidak bagi saya. Anda hanya berwarna putih dan berhiaskan kertas kuning yang disekitarnya tercetak lirik lagu. Dan, oh, saya melupakan sesuatu.

Malam itu adalah sebuah malam pengantar dimana Anda dihadirkan untuk bersinar, memaknai kerinduan. Tepat ketika seluruh lampu di gedung itu dimatikan dan sumbu Anda terbakar, nyala api Anda menampakkan cukup jelas lirik lagu yang ada. Tak lama kemudian, terdengar dentingan organ yang menuntun para jemaat untuk menyanyikan lirik lagu tersebut. Hati saya mulai parau. Saya mulai berbicara sendiri. Tidak, saya berbicara dengan seseorang. Saya tidak gila. Saya rasa siapapun pasti pernah mengadakan percakapan secara sepihak, bukan? Atau, mungkin siapapun itu, adalah orang gila?

God.

Sejatinya, tanpa harus aku menuliskan apapun, Engkau tahu apa yang aku pikirkan. Orang-orang dan kitab suci mengatakan yang perlu aku lakukan mengetuk; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Oleh karena itu, bilamana kebangkitan badan hanyalah sekadar perumpaan, biarkan aku hidup dalam mimpi untuk sebentar saja. Biarkan aku meranumkan doa di tengah kenyataan tentang kehidupan kekal.

Perjamuan malam itu sesungguhnya adalah milik-Mu. Perayaan tunggal yang diwarnai haru, sukacita, dan syukur. Jemaat mulai menyanyikan lagu Malam Kudus setelah lilin dinyalakan. Sebuah simbolis yang dilakukan setiap tahunnya untuk menyambut kelahiran-Mu. Tapi, tiba-tiba aku teringat Santa Claus.

Tuhan, aku mohon. Jangan hukum aku sebab pintaku ini. Aku tahu aku hamba yang sungguh berdosa. Akan tetapi, terkadang hati dan pikiranku seolah-olah bukan milikku. Aku berharap Santa Claus kali ini sungguh hidup, nyata dan benar adanya. Sebab aku menyimpan harapan bahwa ia akan memberikanku kado terindah. Aku berharap papaku akan bangkit dari alam maut! Bukan, bukan ragawi, melainkan rohani. Aku tahu, Tuhan. Aku tahu, itu terdengar gila. Aku tahu, itu bodoh. Tapi, aku hanya manusia, Tuhan. Ciptaan-Mu yang rindu. Ciptaan-Mu yang kehilangan. Ciptaan-Mu yang mati rasa.

Ah, maaf, Tuhan. Entahlah apa yang kubicarakan. Selamat ulang tahun, Tuhan. Sudilah datang ke dalam hatiku dan sucikan hati ini agar pantas menyambut kelahiran-Mu. Kuatkan aku dan keluargaku agar kami senantiasa dapat tumbuh dalam cinta kasih-Mu. Izinkan papaku untuk terus tersenyum dan bahagia di sisi-Mu, Tuhan.

Dad.

Tak ada samudra yang lebih dalam ketimbang kecintaanmu, Pa. Kau bahkan tak memiliki lagi alasan untuk menangis. Je t'aime. Tu me manques.

Comments