Sejatinya, Kita Harus Senantiasa Berpisah

"Kau selalu punya pilihan untuk berpisah atau bertahan."


Izinkan aku untuk bernapas sejenak.

Perpisahan itu menyakitkan. Maka, berbahagialah bila kau menemukan dirimu menangis. Sebab menangis adalah bagaimana selayaknya kita merayakan kehilangan. Tepat ketika ingatan akan perjalanan yang telah kau tempuh menyapamu kembali, petualangan yang menampakkan letih dan juangmu. Ingatan yang seakan menjelma ketakutan. Menangislah, karena itu memperlihatkan pada kesadaran tentang apa yang tengah kau hadapi.

Lihatlah dirimu di satu waktu. Di batas kehilangan yang terurai, kau tetap harus bertahan. Jadi, seandainya orang mengatakan kau telah berubah dan mengakhiri satu bab dalam kehidupanmu, bersyukurlah. Sebab itu bentuk perhatian mereka setelah melihat perkembanganmu yang menunjukkan kau telah belajar. Tapi, ketika mereka mulai merekonstruksi dan mencampuradukkannya secara sepihak dengan penilaian mereka; pejamkanlah matamu.

Ada orang yang akan mengerti tanpa harus kau jelaskan panjang kali lebar. Dan, ada orang yang akan tetap sangsi sebesar apapun usahamu untuk menjelaskan. Kau takkan bisa membuat semua orang berada di pihakmu. Bahkan Tuhan sekalipun yang jelas memiliki rencana sendiri. Akan tetapi, kali ini akan saya jelaskan padamu bahwa terkadang perpisahan merupakan jalan satu-satunya dan mungkin inilah rencana Tuhan yang menarikmu untuk berada pada pihak-Nya.

Dengan semua hal yang kau lepas, kau dibawa pada kenyataan bahwa semua takkan lagi sama. Potongan-potongan selama kau tumbuh akan berlari dari bilik sebelumnya, pergi entah ke mana. Kenangan dalam genggamanmu seakan menjelma noktah hitam yang siap di reduksi bersama gugusan-gugusan bintang di langit demi membantuk epos baru. Nilai sesungguhnya tidak terletak pada keindahannya, melainkan proses yang kau jalani secara spiritual. Langkah yang kau ambil berdasarkan pertimbangan dengan dirimu sendiri.

Semakin langkahmu menjauh, semakin berat rasanya beban yang kau tanggung. Hingga sampai pada akhirnya kau berhenti. Berdirimu yang diam, tunggal tiada kata, akan menyulut sebuah lilin kecil yang terbakar hebat dalam dirimu. Kau kira orang lain akan terluka sementara kau hanya akan tertawa. Kau pikir bersandiwara adalah satu-satunya hal yang perlu kau lakukan. Tapi, tidak. Kau bocah kurus nan malang. Kau baru menyadari semua itu setelah ketidakmampuanmu untuk menggerakkan kaki sendiri.

Kemudian, tangis pecah. Beruntung bilamana gelap membungkus wajahmu. Wajah yang penuh derita dan air mata. Kebebasan menantimu di luar sana tetapi belenggu dirimu seakan tak tergoda akan janji manismu. Udara bahkan enggan masuk ke dalam paru-parumu. Jemarimu bergetar mengikuti suara tubuh yang sarat pedih. Apa yang terjadi? Kau tengah melukai dirimu sendiri. Begitu kejam dan tiada ampun.

Ah, sungguh. Aku keterlaluan. Maafkan aku, diri. Maaf kau harus menangis karena bajingan ini. Namun, percayalah bahwa semua ini akan menjadi lebih baik. Percayalah padaku, Sayang. Tak ada yang mudah dalam hidup bahkan untuk mengambil keputusan sepihak seperti ini. Sebab ada kalanya, suka atau tidak, kita harus berpisah perihal hidup yang pada dasarnya adalah soal bertahan.

Mei - Agustus 2016.

Comments