Surat Kesekian Kalinya

     Bagimu yang tiada pernah terjatuh padaku...

Adakah hari dimana kau mengingat tentang keberadaanku? Tentang jejak-jejak aroma sukacita yang tumpah ruah. Tentang birunya langit yang menyirami wajahku dengan senyummu. Tentang damai semu yang selalu kuingkari. Tentang sesuatu yang kau tinggalkan dalam dada berpedang ini. Tentang kau yang tersisa di antaraku.

Maka apabila Sahara tak pernah mengurai badainya kepadamu, sedang detik berputar terlalu cepat mengabaikan tumbangnya seluruhku; izinkanlah aku menggelar pedih setelah menyadari bahwa kau stigma sebagai pemaknaan tiada batas.

Hari menjelma bulan terhitung jadi tahunan. Namun, detik yang masih terbelenggu pada garis tepi sukmaku sukar mencair. Alih-alih parasmu menguap terbawa deru ombak, sesakku yang terjang jadi semakin puncak mengulum melekuk membentuk lereng nestapa. Menjadi sedemikian absurdnya atas pengadaanmu.

Maka bila kau sebut akulah yang kehilangan usaha, menengadahlah dan tanyakan pada Tuhanmu. Dimana semua lelaki yang Ia ciptakan selain dirimu? Sebab ada begitu banyak pekan dimana aku mengusir gelora bayangmu yang membuncah di antara waktu nan kosong. Sedang sendiri yang tengah kuhadapi tak kunjung mereda. Selalu saja aku dibawa menari oleh ketunggalan derita terhadapmu yang tak pernah kuketahui masanya. Aku terlalu lemah menghadapimu yang enggan menghadapiku. Dan terlebih sayang, kau terlalu bisu untuk mengucap sepenggal namaku.

Adakah kata-kataku yang terlalu ambang untuk kau pahami? Karena kuharap aku tak terlewat pandir di matamu, mengingat dangkalnya pemikiranku kala bertemu dengan sebuah pengharapan yang terlalu esa. Namun, kucoba merunut noktah-noktah yang mengepung pikiranku tentang Tuhanlah yang menciptakan semua ini adanya. Pencipta bumi dan langit. Pencipta terang dan gelap. Pencipta aku dan kau. Sungguh aku tak bisa mempertanggungjawabkan perihal aku yang layu untuk memikul perasaan ini.

Entahlah Tuhan siapa; Tuhanmu atau Tuhanku. Pada pokok yang kini kuketahui, bahwasanya aku takkan selara ini jika melalukan lahiriahmu. Acuh tak acuh akan matamu yang menembus dan menelusuri setiap inci duniaku yang peluh sebab terbakar oleh tatapanmu. Sepintas, partikel-partikel pikiranku meloncat mundur mengingat acap kali kudapati kau ternyata tak mendapatiku. Elektronku tak menemukan protonmu. Kau membiarkannya. Sebuah gaya tarik-menarik yang tak bisa kita terapkan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Bukankah kau menatapku terlebih dahulu? Jangan katakan kau menghiraukan candaan kawanmu dengan sebuah nama yang merangsangmu untuk mencari sang pemilik nama. Jangan katakan kau hanya menganggap itu gurauan belaka ketika kau menjerat mataku yang geming. Jangan katakan kau membiaskan bola mataku setelah kau pikir tak ada hati dalam pemilik nama tersebut. Jangan katakan semua ucapanku ini benar. Berdustalah meski untuk sekali saja, Keparat!

Apabila rancangan atas kebersamaan kita jauh dari kehendak Tuhan; lantas siapa sesungguhnya yang bersalah? Akukah? Akukah yang menulis pesan kepada Tuhan agar memberiku yang terbaik dan berharap kaulah jawaban Tuhan? Akukah yang terlalu banyak berharap dan kecewa dengan harapan yang kubangun itu sendiri? Akukah yang menyusun dimensi dari kekecewaan tersebut hingga menjelma sedemikian pekatnya lalu menuntutmu untuk menyelamatkanku? Ah asu tenan.

Sebuah fatamorgana memang bila kukatakan kebersamaan kita. Kebersamaan yang lebih tepatnya diwakilkan oleh aku dan kau; bukan kita. Kebersamaan yang menjadi khayalan dalam ketidakbersamaan. Sebuah posisi dimana akulah pelukis kebersamaan yang selalu kau pandang dengan apatismu. Ya, kau duduk disana tanpa berbuat sesuatu. Untukku. Itulah kebersamaan kita.

Hatiku terlalu pecah ketika harus menyimpan lebih lama. Akan tetapi, bagaimana bila ada pihak yang membaca tulisanku sebegini lancangnya dan bertanya siapakah aku terhadapmu? Sementara aku tahu sejak awal tentang kebiadabanku yang terus menulis seolah-olah aku inilah kepemilikanmu yang kau miliki. Kepemilikan yang tak pernah kau harapkan.

Kutuklah aku agar aku melupakanmu. Kau tahu, bukan? Aku ini tidak jahat. Aku hanya dibinasakan oleh kesetiaan dari melatanya gugusan waktu yang merawatku. Aku hanya dibinasakan oleh sakaunya alam yang jenuh melihat lamunanku. Aku hanya dibinasakan oleh kesundalan rahimku yang egois untuk membentuk kasih yang utuh denganmu. Aku hanya diperbudak oleh lusinan harapan yang konyol ketika terbang bersama bayangmu. Pandir memang.

Bagaimana bisa ada perpisahan tanpa pertemuan? Bagaimana bisa kupupuskan sebuah karsa yang tersesat; tak bisa tumbuh maupun kembali? Bagaimana bisa kuruntuhkan langit bila tak pernah ada kita? Bagaimana bisa aku memintamu mengingat muara hati yang tak pernah kau lintasi?

Aku terlantar
Tergenang di atas permukaan duka
Tertegun dalam rinai alpamu
Aku terlantar
Menghitung hitamnya kolusi tak terbilang
Dengan gigil dan cemas
Aku sungguh terlantar
Kau yang tak pernah kumiliki
Bagaimana bisa kulepas?

Aku tak lagi mengumpulkan butir-butir manis yang menggoda tentangmu. Aku tak lagi menyusuri lembah yang sarat pesona oleh senyummu. Aku tak lagi berusaha lari dari mercusuar indah yang menyakitkan. Aku tak lagi seperti dulu yang penuh dahaga tiap kali kau gubris dengan lantunan langkahmu yang kian menjauh. Aku tak lagi membakar pedih menahun yang telah lama gersang. Nyatanya kau memang harus lekang, cepat atau lambat. Walaupun hingga kini titik-titik gerimis bayangmu belum beranjak pergi.

Terkadang aku mengerti. Namun, terkadang aku bersikukuh. Terkadang aku sanggup mereguk semua perihal ini. Tapi, terkadang aku mengais-ngais potongan masa lalu sesampainya menciptakan dongeng pengandaian. Terkadang aku begitu merah terhadapmu dan terkadang aku terlampau patah karenamu. Tapi dari semua itu, aku tak pernah membencimu. Tidak sekalipun. Percayalah.

Langit sedang mendung. Terang meski tanpa ditemani matahari. Putih awan mulai memudar. Angin mulai merayu. Mencumbu helai-helai batang rambutku. Sikap dunia yang dingin ini melemparku dalam putaran kilat-kilat gambaranmu. Untuk pertanyaan yang kesekian kali tak kau jawab; apa kabarmu, Sayang?

Carilah aku bilamana kau butuh peremukan. Biar aku dapat mendengar kembali suaramu yang beradu dengan retakan ranting pohon. Sekalipun itu hanya gaung dari kejauhan akibat terbentangnya jarak yang enggan dihapus oleh bejana waktu. Atau sekadar bisik kian meredup sepanjang lorong luka. Aku akan duduk manis mendengarnya bagaimanapun jua. Sebab sejatinya aku hanyalah sebuah perumpamaan insan yang hidup dengan kepingan hati tanpa tahu harus diapakan lagi.

Dari
Biduan kecil yang setia tak menduakanmu
Dengan waktu

November 2013

Comments