[Book Review] Buku Tentang Ruang: Dekonstruksi akan Pengadaan
Buku Tentang Ruang: Kumpulan Puisi Avianti Armand (Dok. Pribadi) |
Buku terbitan Gramedia tahun 2016 ini merupakan kumpulan puisi yang beberapa diantaranya pernah dipublikasikan pada tahun 2013 dalam blog Avianti Armand. Secara visual, baik cover maupun isi, buku ini hadir sederhana dimana puisi-puisinya berbaris dalam font Georgia dan ditemani sketsa-sketsa tipis pada beberapa halamannya.
Avianti Armand sendiri merupakan arsitektur, dosen di Fakultas Interior Design Universitas Pelita Harapan, dan penulis. Ia pernah memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa di tahun 2011 dengan kumpulan puisinya yang berjudul Perempuan yang Dihapus Namanya. Sebelumnya, Avianti telah mulai dikenal dalam dunia sastra melalui karya lainnya, seperti Negeri Para Peri dan Kereta Tidur.
Buku Tentang Ruang seakan membahas keadaan tanpa dimensi. Avianti membagi puisi-puisi ini menjadi beberapa bagian, antara lain Ruang yang Mungkin, Ruang yang Jauh, Ruang yang Sebentar, dan Ruang Tunggu. Melalui buku ini, saya lihat penulis menyimpan sesuatu. Setidaknya, ada keyakinan terhadap sebuah ketiadaan yang dijadikan mengada. Pun sebaliknya. Terlepas masuk akal atau tidak, ia tetap menulis dan meruntuhkan ruang yang ada dengan kata.
Buku Tentang Ruang seakan membahas keadaan tanpa dimensi. Avianti membagi puisi-puisi ini menjadi beberapa bagian, antara lain Ruang yang Mungkin, Ruang yang Jauh, Ruang yang Sebentar, dan Ruang Tunggu. Melalui buku ini, saya lihat penulis menyimpan sesuatu. Setidaknya, ada keyakinan terhadap sebuah ketiadaan yang dijadikan mengada. Pun sebaliknya. Terlepas masuk akal atau tidak, ia tetap menulis dan meruntuhkan ruang yang ada dengan kata.
Pengadaan-pengadaan yang dipecah sedemikian pahitnya meninggalkan kesan manis di benak saya. Penulis seakan mengajak untuk merenung kembali, menuntun pada ingatan yang pembaca rekam secara pribadi. Maka, tidak heran ketika saya menemui sebuah review sebagai berikut.
Tanpa mengajak diri sendiri untuk 'baca dan telaah ruang yang ada', saya kira pandangan memang akan terbatas dan hanya mendapati ketidakjelasan. Tentu akan menguap bila dibaca sambil lalu tanpa memberi perhatian dan kesempatan untuk 'menempatkan diri'.
Ada penggalan-penggalan yang dikutip dalam beberapa review yang saya baca. Sebab itu, saya pun ingin berbagi beberapa baris sebagaimana ingatan saya yang merekah begitu saja tatkala menyusuri jarak yang dilukiskan dalam puisi ini.
---
Kamukah disana?
Aku menelponmu dari sini
dan menunggu kemarin
sejak nanti.
Kamu bisa dengar
mimpiku?
Mungkin tidak.
Sejak bertemu
kita selalu berpisah, bukan?
Kita toh pernah bersama
dalam ruang yang berbeda
dan itu cukup bagiku.
Aku akan selalu menelponmu
ketika kamu tak lagi ada.
Ketika di meja itu
kamu tak lagi menunggu.
---
Secara pribadi, ada satu puisi yang saya kurang sukai dalam buku yang berisi 155 halaman ini, yaitu 'Hal-hal yang Wajar Hari-hari ini'. Isi puisi nyeleneh yang ditempatkan pada bagian Ruang yang Sebentar ini bisa dikatakan unik. Terasa sense of humor Avianti melalui sarkasmenya. Sejujurnya, saya sendiri juga kurang yakin alasan saya kurang menyukainya. Mungkin karena telah begitu banyak saya temui keadaan serupa dalam ruang kehidupan sehari-hari saya.
Kendati demikian, saya tetap merekomendasikan buku ini bagi para pecinta dan penggiat sastra.
"Buku yang tampilannya elegan dengan isi yang menipu. Dan lama kelamaan, nyaris dunia perpuisian di Indonesia melakukan penipuan-penipuan visual semacam itu. Dan selama aku membaca buku-buku Avianti Armand, tak ada yang menarik. Sekedar enak dibaca. Setelah itu menguap dan hilang sudah semua isinya."
Tanpa mengajak diri sendiri untuk 'baca dan telaah ruang yang ada', saya kira pandangan memang akan terbatas dan hanya mendapati ketidakjelasan. Tentu akan menguap bila dibaca sambil lalu tanpa memberi perhatian dan kesempatan untuk 'menempatkan diri'.
Ada penggalan-penggalan yang dikutip dalam beberapa review yang saya baca. Sebab itu, saya pun ingin berbagi beberapa baris sebagaimana ingatan saya yang merekah begitu saja tatkala menyusuri jarak yang dilukiskan dalam puisi ini.
---
Kamukah disana?
Aku menelponmu dari sini
dan menunggu kemarin
sejak nanti.
Kamu bisa dengar
mimpiku?
Mungkin tidak.
Sejak bertemu
kita selalu berpisah, bukan?
Kita toh pernah bersama
dalam ruang yang berbeda
dan itu cukup bagiku.
Aku akan selalu menelponmu
ketika kamu tak lagi ada.
Ketika di meja itu
kamu tak lagi menunggu.
---
Secara pribadi, ada satu puisi yang saya kurang sukai dalam buku yang berisi 155 halaman ini, yaitu 'Hal-hal yang Wajar Hari-hari ini'. Isi puisi nyeleneh yang ditempatkan pada bagian Ruang yang Sebentar ini bisa dikatakan unik. Terasa sense of humor Avianti melalui sarkasmenya. Sejujurnya, saya sendiri juga kurang yakin alasan saya kurang menyukainya. Mungkin karena telah begitu banyak saya temui keadaan serupa dalam ruang kehidupan sehari-hari saya.
Kendati demikian, saya tetap merekomendasikan buku ini bagi para pecinta dan penggiat sastra.
Wahhh saya kurang bakat nulis puisi, tfs ya Mak
ReplyDeleteNdak apa-apa, mak Sandra kan uda jago ngelukis. Kalo puisi juga diborong, dijagoin, lah aku piye toh? Bakatnya dimana? Hahaha
DeleteMemahami puisi gampang2 susah. Jd keinget pelajaran bahasa Indonesia yg memprosakan puisi :D
ReplyDeleteHaha nggih, mak April. Kadang ada yang harus sampai saya baca ulang baru paham
Delete