Kepedulian yang Buta

Kepedulianmu melukaiku, sebab telah menjadi beban bagiku. Seakan jerat yang lupa untuk apa dan oleh siapa. Aku berusaha belajar untuk mendengar tapi kurasa cepat atau lambat aku akan bersekutu dengan gelap demi mengalirkan sebuah warna merah keluar dari tubuhku. Titik ini tak mempersilakan aku menangis atau berteriak, maka kupilihlah 'tuk bicara setelah melewati beberapa pertimbangan. Pemahamanmu telah timbulkan gundah yang bergemuruh dalam dada berulang kali dan kali ini tahi telingaku ugh benar-benar menumpuk sampai menulikanku.

Posisiku belum memberikan hak untuk rewel dan mengatur segala sesuatunya sesuai kehendakku. Kecuali ini. Atau, termasuk ini (?). sebab sejatinya siapa yang sungguh mendamba kesalahpahaman? Dan setelah kau baca ini, atau tidak akan pernah kau baca sama sekali, barangkali kau masih tak paham sampai kau bercerita sambil mengeluh pada teman, saudara, bahkan penjual sayur di pasar akan perilaku yang tak masuk akal bagi setiap sudut pemikiranmu. Mengapa? Sebab kau dibutakan oleh seluruh hasrat yang menginginkanku tunduk pada segala sesuatu yang kau hormati.

Sundalkah aku? Sampai harus menjadi begitu taat kepada mereka yang dengan mudah hati tersinggung dan marah pada pertanyaanku yang alih-alih hanya perlu jawaban iya atau tidak, malah dijelaskan panjang lebar yang lantas kuakhiri dengan iya dan terima kasih. Kendati demikian, yang kuperoleh hanya tatapan dari mata yang mengaku pelayan Tuhan dan seringkali dibisikkan Tuhan untuk melakukan mujizat. Tapi, dengan begitu mudahnya memutuskan berdasarkan hati yang entahlah disebut apa. Toh apapun yang kukatakan bahkan dengan bernilai entah sekalipun, tentu akan berbeda di matanya. Mata sesamaku.

Sungguh, aku percaya pada Tuhan. Aku menghormati-Nya. Akan tetapi, apa yang membuatnya berpikir begitu tinggi hingga berbicara dan mengambil kesimpulan untuk ditanamkan ke dalam pikiran orang lain untuk diteruskannya padaku? Ah, sayang. Aku tiada maksud untuk melukaimu. Maafkanlah aku jika seluruh kata ini melukaimu. Sampaikan juga pada tuhanmu yang bermulut manis itu bahwa aku meminta maaf apabila ia anggap aku sempat merobek hatinya dengan kelancangan yang tak kusengaja. Tapi, tolong. Tolong jangan pinta aku untuk menjilat. Sebab aku bukan anjing. Aku takkan menyalak ataupun menggigit. Toh, yang bisa kulakukan hanya bicara dan menulis. Dan, untuk apa aku rewel pada satu hal bila tiap harinya Tuhan telah dan senantiasa mengujiku untuk bersyukur?

Oh, ya. Aku yakin kau tengah pertanyakan itu dan bagiku kesabaran memang ialah tubuh suara paling syahdu tanpa cela. Pun demikian aku gilai lebih dari ragaku sendiri. Karenanya, aku berdoa pada Tuhan untuk menguatkanku. Namun, jelas bukan berarti kau dapat semena-mena terhadap kesabaranku. Sebab konon kesabaran tak pernah tumbang begitu saja dalam sekali hembusan, melainkan bisikan-bisikan lalu yang dengan angkuhnya mengabaikan tenggang rasa.

Di samping itu, iman seorang kafir seperti aku tentu tak bernilai di matamu. Tapi, kau seorang yang lebih tekun ketimbang aku, sudah selayaknya memiliki kesabaran lebih lapang setelah diuji lebih banyak. Jadi, guna apa kau bakar amarah teruntukku, nyonya?

Comments