Secercah Kenangan

Setiap kali mengingat hal ini rasanya sedih sekali. Namun saya teringat dengan perkataan seorang perempuan yang sangat saya kasihi dan sayangi bahwa : "Janganlah kamu menangis, karena beliau disana juga pasti ikut sedih!" Sejak saat itu saya berjanji bahwa saya tidak akan menangis lagi.

Ini adalah secercah kenangan tentang seorang Ayah. Sejak saya pindah dari Jakarta ke Sukabumi saya disana hanya tinggal bersama Ayah saya.

Ayah saya adalah sosok yang sangat baik karena setiap kali saya memiliki keinginan pasti akan dipenuhi olehnya dan dia juga sosok yang keras namun tidak kasar dalam mendidik saya. Ayah sayalah yang mengajarkan saya untuk mengenal Tuhan melalui agama. Ayah saya beragama Kristen. Setiap hari Minggu saya selalu diajaknya untuk pergi ke gereja, namun saya selalu menolak.

Saya teringat bahwa setiap kali saya hendak tidur, Ayah saya selalu mengatakan: "Maafkan Papa ya jika Papa ada kesalahan hari ini." Sayapun menjawab: "Iya Pa, aku maafkan." Namun, suatu ketika saya tidak memaafkan.

Beberapa hari kemudian saat Ayah saya baru pulang dari gereja, tiba-tiba Ayah saya terjatuh sehingga lutut kirinya terluka. Saya lalu membantu membangunkan untuk duduk.

Beberapa hari kemudian saya baru mengetahui bahwa Ayah saya terkena darah tinggi dan lebih parahnya stroke namun belum terlalu parah dari saudara saya. Suatu ketika saya diajak ke rumah duka oleh Ayah saya untuk melayat seseorang.

Setelah berminggu-minggu penyakit Ayah saya semakin menjadi-jadi sehingga saya harus pindah kerumah saudara Ayah saya yang saya panggil Ooh Lily. Kalau tidak salah saya tinggal disana selama sebulan. Saya selalu diantarkan ke sekolah oleh sopir Ooh Lily karena Ayah saya tidak bisa mengantarkannya.

Setelah sebulan saya harus pindah ke Jakarta untuk tinggal bersama Ibu saya karena Ayah saya harus melakukan perawatan. Saya juga harus pindah sekolah ke SD St. Fransiskus 1 saat saya duduk di kelas 3 SD. Hari pertama saya selalu menangis karena saya rindu dengan Ayah saya.

Suatu ketika di suatu malam kira-kira pada bulan Maret 2004 saya dibangunkan oleh Ibu saya bahwa saya harus ke Sukabumi untuk menjenguk Ayah saya. Ibu saya berkata bahwa Ayah saya sedang dirawat di rumah sakit. Saya sudah ditunggu oleh beberapa saudara. Saya pergi ke Sukabumi menggunakan mobil.

Saat perjalanan saya hanya termenung karena saya mempunyai firasat tidak enak. Bahkan ketika saya diajak makan, saya menolak dan hanya duduk di mobil saja sambil merasakan AC mobil yang menusuk tulang. Akhirnya saya sampai di Sukabumi. Namun, saya heran, mengapa kami pergi ke rumah duka?

Saat sampai di rumah duka banyak saudara saya yang berkumpul di sana. Lalu saya duduk di sebuah bangku dan mendengarkan perkataan Ooh Titin: "Ferdy, Papa kamu sudah meninggal, kamu yang sabar ya." Lalu saya terdiam tanpa kata dan hanya menundukkan kepala sambil merasakan bahwa air mata saya terjatuh. Saya hanya menangis lalu saya masuk ke dalam dan melihat Ayah saya terbujur kaku. Tangisan saya semakin menjadi-jadi.

Saya teringat bahwa dulu di suatu malam saya bermimpi bahwa Ayah saya telah meninggal. Ayah saya membangunkan saya dan berkata : "Mengapa kamu tidur sambil menangis dan menjerit? Ada apa?" Lalu saya tidak menjawab pertanyaan itu.

Hari memang sudah malam, saya harus beristirahat di sebuah hotel dekat sana. Pagi hari saya sarapan dengan mie telur. Selesai sarapan saya berangkat lagi menuju rumah duka untuk menjenguk Ayah saya lagi. Sampai disana lagi-lagi saya hanya menangis saat mengikuti sebuah kebaktian di sana. Saya melihat Ayah saya hanya terbujur kaku di dalam sebuah peti.

Besok harinya saya berangkat ke suatu tempat yang berada di dekat laut untuk menghadiri upacara kremasi Ayah saya namun sebelum berangkat saya ditawarkan untuk membawa beberapa barang milik Ayah saya. Saya memilih Alkitab Ayah saya yang sampai saat ini masih saya gunakan dan sebuah buku lagu-lagu rohani. Lalu saya teringat bahwa dulu Ayah saya selalu membaca Alkitab di waktu senggangnya.

Sampai di tempat itu, suasana sangat panas dan terdapat sebuah alat yang mirip oven yang sangat besar. Lalu Ayah saya beserta petinya dimasukan ke dalam alat itu untuk dibakar. Sambil menunggu saya makan sebuah nasi kotak yang telah disediakan.

Kira-kira 1 jam kemudian, pembakaran telah selesai dan hanya menyisakan tulang-tulang Ayah saya yang lalu dikumpulkan dan dimasukan ke dalam sebuah tempat untuk dibawa ke laut untuk dilemparkannya ke sana.

Saya ikut membawa tulang-tulang tersebut ke laut. Saya naik sebuah perahu bersama seorang pendeta. Sesampainya di tengah laut, tulang – tulang itu dilemparkan. Pendeta itu lalu mengatakan: "Manusia dibuat dari debu dan tanah, dan akan kembali lagi menjadi debu dan tanah."

Selesai upacara itu saya kembali ke Jakarta bersama dengan Ooh Titin menggunakan mobil.

Saya tumbuh dewasa bersama Ibu, kakak, dan adik saya. Saat mulai dewasa saya baru menyadari bahwa betapa bodohnya saya saat itu ketika saya tidak memaafkan Ayah saya. Dan saya merasa bahwa Tuhan telah menghukum saya karena tidak memaafkan Ayah saya.

Penulis: Ferdy Matius (diangkat dari kisah nyata)

Comments