Hanya Dulu

Dulu, kebisuan ini mempertaruhkan hati. Membisukan diri, membisukannya, dan dibisukan. Hantaman waktu menyisakan perih terdalam yang jijik, yang tidak ingin ku tunjukkan dengan tangisan. Aku tak suka tangisan yang tak berarti, tangisan yang bising, dan tangisan yang tangisan. Sebenarnya ini bukan perih, hanya luka. Luka yang belum membekas, masih menganga dan membau. Atas luka ini aku terdiam, berjalan tanpa skeptis dalam gelap yang menerangi senyumku.

Biar buta, tuli, bisu, hingga aku tak bisa bernafas, aku tak akan enyah. Sadarku atas ketidakpantasanku dalam menunggu kehadiranmu. Laksana angin yang membelai rambutku, menggenggam jemariku, dan memeluk raga ini. Tapi aku tak pernah mampu menyentuh angin, menyentuhmu seorang. Apakah aku salah? Tetap tegak dalam pendirianku yang sungsang. Tenang, aku akan setia pada jalur yang sama, penuh kerikil, debu, dan tak terarah. Langit yang tak ramah hingga ombak yang tak ingin mengenalku.

Bumi terus berputar seperti aku yang tetap berputar tanpa akhir yang jelas. Lain di mulut, lain di hati. Meski telah seribu kali ku ucap untuk berhenti, tapi hati ini tak mau, merengek untuk meminta sebuah cinta yang ku tunggu. Jika aku katakan aku ingin yang terbaik untukmu, melihatmu bahagia, sejujurnya aku berbohong. Aku tak ingin melihat di balik punggungku bahwa kau tersenyum dengan dan untuknya. Dia yang lebih pantas, lebih berharga, dan lebih berarti di matamu. Maaf jika aku terasa kurang ajar, tapi inilah kenyataan yang tak bisa kubantahkan atas ngilu jiwa ini.

Kini, aku hanya bisa bergeming tanpa sungutan, tanpa skeptis, dan tanpanya. Aku hanya sanggup tersenyum sambil melihat ke depan, membiarkan segalanya berlalu dengan bayang-bayang yang tak pernah mungkin bisa ku hapus. Selamat tinggal semuanya, terima kasih atas harapan yang pernah dilabuhkan untukku. Telah kusampaikan, untuknya.

Comments