Sepeninggal Sang Rembulan

Maaf atas tinta yang kugoreskan ini. Maaf atas kelancangan yang kuperbuat. Maaf atas tulisanku yang karenamu. Ketika aku berjalan meninggalkan tempat yang juga telah kau tinggalkan terlebih dahulu, ternyata hati ini belum siap sepenuhnya. 

Terjaga di tengah malam sangatlah tidak menyenangkan. Berusaha tertidur kembali dengan menutup mata dan menggerakkan badan ke kanan dan ke kiri. Ada seperti sumur yang berada di sebelah tempat tidurku yang membuatku takut membuka mata untuk melihat ke bawah tempat tidurku. Tapi hari itu, aku kehabisan akal. Semakin lama terdengar gelitikan tawa yang menusuk telinga dan dada ini. Bak mengolok-olokku karena aku dilumpuhkan.

Entah dari mana datangnya tapi aku ingin mendobrak ketakutan itu. Menunjukkan bahwa aku tidak bodoh, bukanlah seorang dungu, bahkan aku tak dancuk seperti anggapan mereka. Punggungku menegang dan di luar kemampuanku--seperti ada yang mendorong--aku bangkit hingga membentuk 90 derajat. Aku membuka mata dan menatap pada dinding yang berwarna abu-abu, yang jelas menggambarkan diriku secara gamblang dan ketakutanku. Ialah kerapuhan yang tak pasti, mengambang tanpa jiwa yang jelas.

Aku bergeser hingga telapak kakiku jelas merasakan dinginnya lantai, dingin yang pernah berlabuh dalam relungku. Dinginnya begitu luar biasa sehingga aku menengadah dan melihat atap rumahku yang terbuat dari kayu jati. Begitu kokoh dan warnanya coklat tua. Mataku terpejam, teringat pada seseorang yang mengagumkan saat lidah senja menampakkan ketangguhan yang nyata atas kuatnya dari permukaan kulit yang terasa. Otot bisep, bahu, dan dadanya yang pernah dirindukan bola mata ini. Biar aku tak dapat menyentuhnya, setidaknya aku dapat melihatnya. Aku sangat nyaman setiap kali melihat ke atas, seperti ada yang menyelimutiku. Malam itu terasa lebih terang meski tanpa lampu satupun yang mengawasiku. Mungkin karena kehadiran bintang-bintang yang terlihat tepat di sebelah kananku.

Entah apa yang kupikirkan, namun ada satu yang muncul di benakku. Aku bangkit menuju meja tempat berdirinya sebuah lampu baca. Sebuah meja dari kayu oak yang tampak bersih, licin, dan sepi karena remangnya lampu itu. Terlihat jelas ketika laci di sebelah kanan ku buka, betapa berserakannya kertas-kertas putih yang penuh dengan tulisan tanganku. Kertas-kertas itulah yang selama ini telah mendiami, juga menghiasi laciku.

Kubaca kembali kata-kata yang kutuliskan. Kubaca dalam hati untuk mengobati rasa rinduku padanya. Tak ada kata yang kutulis, yang kukatakan padanya. Dia tak pernah tahu dan tak akan pernah tahu. Setiap kebohongan yang kuperankan didepannya, sebenarnya bukan karena aku sudah menjadi pribadi baru yang telah melupakannya. Tapi karena aku berusaha mengacuhkannya agar aku tak membuatnya risih pada tingkah lakuku. Kurang lebihnya seperti itu yang sering kuceritakan pada kertas-kertas yang menumpuk tentangnya. Kuberitahukan berkali-kali hingga mungkin kertas itu lelah dan rasanya ingin dibakar saja ketimbang menuliskan kisahnya.

Lalu apa yang akan dia perbuat? Jikalau saja aku mengatakan kerinduan yang mengarungi relung ini hingga sudut terlancipku, apa pedulinya? Tak ada alasan untuknya mengerti meski rinduku menyentuh batas dari garis tepi hatiku bahkan rela meminang detik untuk menjelmanya menjadi kiasan dalam kata-kataku. Aku tak pernah tahu apa yang ia pikirkan tentangku dan tak pernah sanggup membayangkannya.

Malam tanpa bulan terasa sepi. Sunyi seperti lembah kekelaman yang aku pujai. Lembah tanpa dasar yang tumpah ruah karena dirinya telah menjadi milik yang lain tak lama setelah ia melepas pergi diriku. Sungguh rinduku semakin menjadi-jadi seperti ombak yang menjeritkan kekecewaan pada karang untuk memohon pasir agar tak meninggalkan setiap bulirnya hingga tak terpisah antara air mata dengan luka-luka yang terpendam jauh di dasar laut. Gemerincing hidupku seolah tabu, bersenandung mengiringi pasang laut yang untungnya tak meninggi saat ini. Tapi tetap saja aku menginginkan bulan untuk berombak, menggila bersama, tenggelam dalam derasnya kehilangan yang sudah lama terjadi.

Tetap saja masih terasa ada rongga sepeninggal bulan. Begitu banyak rongganya sampai ingin rasanya denyut nadi di bawah kulitku membakar bintang-bintang yang mengolokku di langit nan hampa. Pengharapan pada gemulai helai-helai daun diantara gemuruh angin yang terbang membawa seutas benang merah untuk kematian perasaan ini. Pengharapan pada dinginnya malam yang menjadikan hidup tak hanya sekadar mengubur pilu dan menyimpannya dalam buih doa, atau menjadikan mati tak hanya sekadar mengabadikan napas dan kutukan pada cinta yang hidup. Untung saja masih ada bising yang menghinggap dari denyut jantungku sebagai pertanda kehidupan yang akan terus bergulir bak riak mata air tanpa henti dibawah kuasa Tuhanku.

Potongan yang melekat padaku adalah risau. Risau yang terus belajar tenang dibawahnya saat menundukkanku dengan cara yang berbeda atau dengan tanpa cara apapun. Risau yang ingin mendekap pelangi ditengah langit kelabu hingga dapat mempertemukan gunung dan lembah tanpa harus menghancurkan salah satunya. Risau yang kucari dalam hatinya, yang nyatanya risau yang tak pernah ada.

Tak lama kemudian, tanganku berhenti membolak-balikkan kertas yang terpaku pada sebuah kumpulan bait yang disebut puisi. Puisi yang baru saja kubuat sekitar satu tahun yang lalu. Sungguh lugu hingga rasanya aku masih mengingat betapa gelinya lampu yang menerangiku saat itu sambil meremang.

Cukup lama untuk membayangkan kembali apa yang kurasakan saat itu. Setahun yang lalu aku mendamba diantara pesakitan yang sempat tak mengizinkanku tersenyum. Kini aku tak ingin mendambanya lagi setelah waktu yang terlalu amat sangat singkat untuk kita. Sebab kutahu akan lebih berat rasanya dengan adanya seseorang yang sudah mengganti tempatku sejak setengah tahun yang lalu. Sulit aku menjernihkan pikiranku setelah bayang-bayang itu terlintas kembali.

Aku tak sanggup untuk kembali ke masa lalu. Getaran di tanganku masih dapat ku tahan, tapi getaran dalam dadaku, bagaimana?

Kuputuskan untuk memasukkan kembali kumpulan kertas yang kupegang ke dalam laci tadi dan beranjak tidur. Aku tahu bahwa aku tak akan bisa mimpi indah untuk malam ini, bahkan sekadar tidur nyenyak. Entah hanya malam ini, atau malam selanjutnya dan seterusnya.

Comments

  1. hmmm, this is good girl,, keep writing ;) !!

    ReplyDelete
  2. terima kasih banyak ya atas komennya :)

    ReplyDelete

Post a Comment