Di Antara Waktu

Pernahkah kau bertanya sudah seberapa banyak aku mendebarkan haus akan dirimu?

Tidak pernah. Aku sendiri yang mengharapkanmu melakukannya. Aku sendiri yang menahan sesak sambil merindu karenamu. Sebab aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi. Lembayung tak memperbolehkanku berucap pada desiran angin untuk menceritakan padanya. Sampai-sampai aku yang sering menerbangkan begitu banyak pertanyaan kepada epidermis dinding yang telah mengupas seiring menua.

"Mengapa aku tak bisa mengukir senyum di akhir pertemuan yang tak pernah berucap selamat tinggal, padahal senyumku selalu terukir dalam setiap jarak yang sering mengatasnamakan pedih? Kemudian, haruskah aku tetap menjaga kembangnya mekar yang tak lama lagi layu sebab menahan sesak dengan raguku padamu?"

Entah berapa lama lagi aku bisa menatapmu begini palingnya. Mungkinkah takdir akan mempertemukan kita kembali? Atau menahan dalam sisi yang berbeda satu sama lainnya? Minggu demi minggu mendebarkan takutku pada telaga yang selama ini mengalir, akan menjadi kering. Siapa lagi yang harus kutatapi bila kau tak ada? Bagaimana aku nantinya?

Dulu

Telah kudapati mata hati yang kuinginkan berlabuh. Mata hati yang siluetnya saja dapat menjadikanku mengkhayal paling dahaga padamu. Mata hati yang menjadi rintik dalam penjelmaan atas pejamnya bola mataku. Mata hati yang tak berani kusentuh dalam takutku.

Waktu tak membiarkanku menikmati setiap detiknya yang mendetik. Waktu membiarkanku diam, menunggu jawaban darimu. Waktu mengharapkanku padamu yang menegurku lebih dulu. Waktu membatasiku dengan gengsi yang bodoh. Waktu dipenuhi kehampaan, ketidakpedulian di antara kita, dan kecemasanku yang pada akhirnya berujung dengan kepahitan.

Aku merisau atas absennya dirimu di hari-hariku yang tidak pernah mau kau jelaskan mengapa sampai kau menceritakan kejujuran. Laksana tombak atau mungkin hanya sekadar paku kecil yang tertancap lalu dicabut hingga membekaskan lubang. Lubang yang menganga seperti musim kembang yang sedang bermekaran, berlomba-lomba memperlihatkan keanggunan warna dan aroma dari pesolek. Tapi tidak untuk yang satu ini. Ia tidak tahu kapan dan bagaimana akan tertutup. Yang ia tahu hanya mengapa menjadi mekar sebegini menganganya.

Kurasa tanpa skeptis, simpul pada kayu yang telah mengikatmu selama ini kau lepaskan begitu saja. Lalu, kau bertemu pelabuhan yang menjadikannya kabut dalam rinai pelepasan yang tak begitu lama sejak punggung waktu berpaling dariku. Aku enggan namun aku sendiri tak bisa menjadikan dirimu sebagai mahabulan seperti yang dia lakukan padamu.

Dia. Dia yang menjadikan aku begini sakitnya. Dia yang membikin aku sekangen-kangennya. Dia yang membuat aku tersangat iri! Tapi, mau bagaimana lagi? Dia memiliki yang tak kupunya dan dia sesuai dengan yang kau harapkan.

Kamu. Kamu yang bisa dibuat tersenyum. Kamu yang ceria dan hangat dalam gambaran foto-foto. Kamu yang menjadi lebih bahagia tanpaku. Lalu, hendak bagaimana lagi? Kamu tak pernah bisa kusentuh saat aku bersamamu dan kamu bisa menyentuhnya karena ia milikmu seutuhnya.

Mengapa? Apa masalahku? Adakah sesuatu yang membuatku tak bisa menjalin hubungan seteduh dan setenang itu? Haramkah terbangunnya hati yang ingin terlelap dalam canda tawamu? Demikian, lancangkah aku memintamu untuk meninggalkan potongan bahteramu yang dengan kata lain 'jangan pergi'?

Inikah maumu? Terjadi dalam kehendakmu? Menyisakan begitu banyak pedihnya dalam ruang yang kusebut hati ini. Sepaling berdosanyakah aku terhadap angin yang bersahabat dengan petir? Hingga tak menjanjikan kesungguhan melainkan ruas-ruas hati yang dijernihkan perih? Ejalah sesukamu warna abu pada awan. Bagaimanapun tersungkurnya aku, engkaulah yang pernah duduk di singgasanaku dan patut bertanggungjawab atas kekosongan tempat itu. Sebab dengan senyap yang kau titipkan padaku, aku terus menunggu di pinggir jalan, menunggu tumpangan darimu yang sekiranya kelak menjadi pendar dalam kerikil berdebu.

Kini

Adalah kenyataan yang justru mengerikan. Bahwasanya kita tak pernah melukis keindahan dari sebuah kita. Memahat kenangan dari pertemuan yang dapat kau hitung dengan jari. Karena dengan seluruh heningmu yang membikinku paling remuk di paling dada. Menjarakkan kita pada gulita, tepat ditengah kedua tebing meredup. Menyusuri aliran sungai yang genangannya saja dapat membuat tabu dibawah kuasa lembah atas nyalanya kecanggunganku. Merasakan permukaan kulit setiap pohon yang kusentuh dengan jemariku untuk memohon mereka bercakap. Tapi keangkuhan pepohonan itu menuduhku terlalu membinasa hingga dijatuhkan dedaunan dan ranting untuk menyuruhku berlarian, enyah di belakang semak-semak, dari kepatungan tahunan mereka.

Seperti kumpulan debu dengan rahim yang mengandung kecintaanku padamu. Aku tak pernah berharap akan begitu jadinya rasa yang aku. Tiada segan aku menyeka jeritan rindu ini. Sebab segalanya tak kurencanakan, tak terduga, dan tak menggembirakan. Tapi tetap saja, aku tak ingin padam. Aku ingin tetap menjadi merah menyala. Merah gelap yang menyala dalam pucatnya kebahagiaan hari. Biar sekelilingku tahu bahwa kuil dari tempat persembahan dalam dadaku, masih tersimpan bayang dari sang pemilik.

Kelak

Akulah biduan yang kehilangan suaranya untuk menyanyikan kata-katanya hingga terlahir ke dalam rupa ini. Merengkuh erangan dan dengusan dalam hening yang memenjarakan jagat raya. Memandu bagi yang meratapi merananya. Mendekap yang masih hidup dalam keseganan atas apa yang sudah terjadi. Dan melamunkan segalanya yang buruk tetap cantik seperti sebelumnya.

Oleh karena ada kepastian atau keraguan bilamana akulah jalang yang menjalangkan arti dari kejalangan, sesampainya aku bukanlah yang termiliki pada namamu. Tak ada pintaku selain ini. Tetaplah membentuk bulan di atas palung yang telah menghitam dari merahnya.

Dok. Pribadi

Comments