Serangan Rindu

Ketika sebuah rasa menjadi beringas di tengah keliaran dan terus menjadi perih tanpa mengaliri wajah, ah tak sanggup aku. Bisa-bisanya rasa itu meninggali relungku ini. Hidup ditengah kerinduan yang tak pernah terjawab. Bangsat kau, rindu!

Aku hanya sendiri, tak ada lagi yang berkenan menyeduh kehangatan jiwaku. Layaknya ombak yang menyapu sebuah ruang tak beruang, waktu tak berwaktu; hanya menyalahkan bulan atas pasang yang sebegini gilanya. Bila aku sedang berlayar saat itu juga, kemanakah aku harus mendayung untuk menemukan pelabuhan? Tempat baru yang sekiranya mampu mengajarkan aku kembali menyelam untuk mengarungi lautan yang pernah membunuhku. Tunggu. Bukankah langit gelap, bersekutu dengan bulan untuk menggelapkan bundaran terang itu sendiri di antara ruang dan waktu yang membutakan aku?

Tersesat, hanyut terhisap oleh hampa yang mewarnai penglihatanku pada karang di pesisir pantai. Aku melihat apa yang bisa dilihat oleh dua bola mataku, namun pelabuhan terdekat apapun tak mampu kuraih. Sebab kamu yang telah menjadikanku mati rasa terhadap mereka. Hanya padamu, hanya kamu yang ingin kuraih. Ah tengah malam semakin pekat saja, legamnya mengingatkan aku padamu disaat kamu tak berada disini. Di malam ketika bulan tak menjadi putih.

Bisakah aku menjadi putri duyung bersayap yang tak harus bergantung pada air melulu? Bahkan menggapaimu lebih cepat daripada harus terombang-ambing dahulu di tengah samudra yang palungnya saja tak pernah kulihat seberapa dalamnya. Kerang, sembunyikan saja aku dalam rumahmu. Tak apa bilamana aku bukanlah bola putih berkilau semacam kelereng yang dicari orang kebanyakan; sebab aku memang tak berharap dicari dan enggan.

Biar semua orang melupakan aku hingga dia sekalipun. Agar aku tak menyisakan kedukaan berarti. Sebab aku tahu bahwa kamu takkan mengingatku bahkan untuk menanyakan kabar kegersangan luka yang kusimpan. Ya dan walaupun aku berharap kamulah satu-satunya yang menangisi kepergianku kelak.

Banjarmasin//1.5.13