Ternyata Hati Itu ...

Napas begitu tersentak pada keadaan, mengingat goresan luka yang membatin. Ah, begini saja? Bahkan aku saja belum merasa begitu mati untuk menguraikan sebuah nama padamu, hati.

Menangis takkan menghapus duka yang sudah terukir, bahkan untuk memutar waktu sedetikpun. Lantas, untuk apa masih menangisi lelaki itu? Haha kau menyangkalnya. Kau bilang hanya masih teringat dengan kenangan yang ada. Kenangan apa?! Mengingat namamu saja, mungkin ia membutuhkan seribu abad. Tak ada yang pantas disebut kenangan. Jadi, janganlah merancu pikiranku, hati.

Berkacalah sebelum kau berani menghadiri pernikahannya. Perbaiki dirimu sebelum kau berani melangkahkan kakimu untuk memberkati kehidupan sucinya yang baru. Apa? Memberkati? Haha ingat, kamu telah menajiskan setiap detik kehidupannya yang lampau hingga ia merasa begitu menyesal saat mengucapkan perpisahan. Menyesal pernah mengecup bibirmu yang haus akan dirinya. Ah menjijikan sekali kamu, hati.

Lihat, apa yang kamu lakukan? Ia berlari meninggalkanmu sebab kamu terlalu angkuh untuk mengakui kamu sangat membutuhkannya. Tak perlu sok tegar seperti itu. Mengaku sajalah, kamu jauh lebih renta dari nenek moyangku. Bukan salah perempuan itu bila ia meninggalkanmu seperti serpihan kertas dengan mengatasnamakan cinta pada perempuan itu. Haha bukan padamu, hati.

Entahlah bila ini kau anggap kenangan atau bukan. Namun, aku masih mengingat caranya menceritakan langit dan bumi yang begitu patuh dalam lidahnya yang terdengar damai saat mengucapkannya. Oh kamu ya, kamu yang mengingatkannya padaku, hati.

"Bila awan memudar, sebutlah namaku dalam hatimu. Bila dedaunan mulai menguning, teriakkanlah namaku pada mereka. Bila dingin berani mencumbumu, bisikkanlah namaku pada merpati. Sebab hanya padamulah namaku satu. Tiada yang kuberikan namaku atas segala kehangatan di bumi ini selain untukmu."

Cukup, kau sudah mengiangkan kalimat itu beberapa kali di setiap keheningan. Pun dengan pertanyaanmu, "Mengapa sesulit ini menghapus jejaknya?" yang telah kujawab berkali-kali. Semua itu karena kamu cengeng! Dengar itu, cengeng! Ya, kamu terlalu lemah untuk menghadapi neraka ini. Banyak orang yang sanggup melalui hal ini sendirian dan kamu bukan salah satunya, hati.

Tahukah kamu? Kali ini aku merasa begitu malu. Lebih malu daripada sebuah bunga yang tak mekar di musimnya sampai pada akhirnya layu tanpa pernah mekar sekalipun. Sebab aku menuruti semua kehendakmu dan betapa bodohnya aku yang melecehkanmu. Sama saja aku melecehkan diriku. Haha ya aku memang tolol, hati.

Akulah hati yang menjeritkan namanya di setiap malam gulita. Akulah hati yang menangisi rasa pendar di dada tanpa bisa melakukan apapun. Akulah hati yang menyiksa hening dengan suara isak tangis tiap kali mengingat cincin yang hampir melingkar di jari manisku. Akulah hati yang harus merelakan derap langkahnya yang menjauh untuk menggenggam jemari perempuan itu di ujung jalan. Akulah hati itu, memang itu aku!

Tak perlu kamu memaafkanku, hati. Haha aku memang bajingan. Bahkan segala detak waktu yang kujalani selama ini tak akan sanggup mengampuni kesendirianku. Sendiri dalam legamnya waktu hingga tak tersisa lagi ruang bagi bayangan diriku. Terlalu naif untuk memikirkan dirinya yang telah sekian lama menghapus namaku dalam setiap sujud sembahnya pada Yang Maha Kuasa. Menghapus parasku atas setiap tawanya bersama seorang perempuan yang membikin ngilu kamu, hati.

Sebegini kelamkah palung dalam dadaku? Air matamu yang telah meraba embun di masing-masing musim sudah habis hanya sekadar untuk memintaku berhenti memikirkannya. Bila kamu lelah, tidurlah. Bermimpilah sepanjang musim yang kau habiskan untuk menghitung embun-embun tadi. Sebab padamulah kini aku hidup, hati. Jantung tempat aku mengukir dan menguraikan sebuah nama yang pernah hidup bersama kita.

Ilustrasi (sumber: soundcloud.com)