Bapak

Karya : B. Soelarto (dengan beberapa perubahan)

Bagimu, kemerdekaan bumi pusaka. Drama ini terjadi pada tanggal 19 Januari 1949, sebulan sesudah tentara kolonial Belanda melancarkan aksi agresinya yang kedua dengan merebut Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Tentara Kolonial telah pula siap siaga untuk melancarkan serangan kilat hendak merebut sebuah kota strategis yang hanya dipertahankan oleh satu batalion Tentara Nasional Indonesia.
Di kota itulah, si Bapak dikagetkan dengan kedatangan putra sulungnya yang mendadak muncul setelah bertahun-tahun merantau tanpa kabar berita.
Si sulung telah kembali pulang dengan membawa sebuah usul yang sangat mengagetkan si Bapak. Waktu itu seputar jam 10.00 si Bapak yang sudah lanjut usia, jalan hilir mudik dengan membawa beban persoalan yang terus menerus merongrong pikirannya.

[Bapak]
"Dia, putra sulungku. Si anak hilang telah kembali pulang. Dan sebuah usul diajukan; segera mengungsi ke daerah pendudukan yang serba aman tenteram. Hem ya, ya, usulnya dapat kumengerti. Karena ia sudah terbiasa hidup di sana. Dalam sangkar. Jauh dari debu prahara. Bertahun-tahun mata hatinya digelapbutakan oleh nina bobo dan lela buai oleh si penjajah. Bertahun-tahun semangatnya dijinakkan oleh suap roti keju. Celaka, oo betapa celaka nian."

Si Bungsu senyum memandang.

[Bungsu]
"Ah, rupanya Bapak lagi ngomong sendiri."

[Bapak]
"Ya, anakku, terkadang orang lebih suka ngomong sendiri." Tapi, bukankah tadi kau bersama abangmu?"

[Bungsu]
"Ya, seharian kami mengitari seluruh penjuru kota. Tapi, sayang sekali kami tidak berhasil menjumpai ma..."

[Bapak]
"Tunanganmu?"

[Bungsu]
"Ah, dia selalu sibuk dengan urusan kemiliteran melulu. Bahkan, ketika kami datang ke asramanya, ia tidak ada. Heh, seolah-olah seluruh hidupnya tersita untuk urusan-urusan militer saja."

[Bapak]
"Kita sedang dalam keadaan perang, Nak. Dan dalam keadaan begini bagi seorang prajurit, kepentingan negara di atas segalanya. Bukan saja seluruh waktunya, bahkan juga seluruh jiwa raganya. Tapi, eh, mana abangmu sekarang?"

[Bungsu]
"Oh, sepertinya dia masih rindu dengan bumi kelahirannya. Tapi, kurasa dia akan segera tiba. Dan apakah Bapak sudah menjawab usul yang diajukannya itu?"

[Bapak]
"Itulah, itulah yang hendak kuputuskan sekarang ini, Nak."

[Bungsu]
"Nah, itulah dia!"

Si sulung datang dengan mencangklong pesawat potret mengenakan kacamata hitam. Terus duduk melepas kacamata dan meletakkan pesawat potret di atas meja.

[Sulung]
"Huh, rupanya wajah kota tercintaku ini sudah berubah. Dipenuhi baju seragam menyandang senapan. Dipagari lingkaran kawat berduri. Bahkan kini wajahnya kian menjadi garang berhiaskan laras-laras mesin. Tapi, di atas segalanya kota tercintaku ini masih tetap memperlihatkan kejelitaannya."

[Bapak]
"Begitulah, Nak. Suasana kota yang sedang dicekam keadaan perang."

[Sulung]
"Ya, pertanda akan hilang keamanan, berganti huru-hara keonaran. Dan mumpung masih keburu waktu, bagaimana dengan putusan Bapak atas usulku itu?"

[Bapak]
"Menyesal sekali, Nak..."

[Sulung]
"Bapak menjawab dengan penolakan, bukan?"

[Bapak]
"Ya."

[Bungsu]
"Jawaban Bapak sangat bijaksana"

[Sulung]
"Bijaksana? Ya, kau benar manisku. Setidak-tidaknya demikianlah anggapanmu karena secara tidak kebetulan tunanganmu adalah perwira TNI di sini. Tapi, maaf bukan maksudku menyindirmu, adik sayang."

[Bungsu]
"Ah, tidak mengapa Abang. Kau hanya keletihan. Mengasolah dulu ya, Abang. Mengasolah, kau begitu capek tampaknya. Bapak, biar aku pergi belanja dulu untuk hidangan makan siang nanti."


Si Bungsu pergi. Si Sulung mengantar dengan senyum.

[Bapak]
"Nak, pertimbangan bukanlah karena masa depan adikmu seorang. Juga bukan karena masa depan usiaku."

[Sulung]
"Hem, lalu? Karena rumah dan tanah pusaka ini barangkali ya, Bapak?"

[Bapak]
"Sesungguhnyalah, Nak, lebih karena itu."

[Sulung]
"Oh, ya? Apa itu ya, Bapak?"

[Bapak]
"Kemerdekaan!"

[Sulung]
"Kemerdekaan? Kemerdekaan siapa?"

[Bapak]
"Bangsa dan bumi pusaka."

Si sulung tertawa.

[Sulung]
"Bapak yang baik. Bertahun-tahun sudah aku hidup di daerah pendudukan sana bersama beribu awak yang tercinta. Dan aku seperti juga mereka, tidak pernah merasa menjadi budak belian ataupun tawanan perang. Ketahuilah, Bapak, di sana kami hidup merdeka."

[Bapak]
"Bebaskah kau menuntut kemerdekaan?"

[Sulung]
"Hoho, apa yang mesti dituntut! Kami di sana manusia-manusia merdeka."

[Bapak]
"Bagaimana kemerdekaan menurut kau, Nak?"

[Sulung]
"Hem. Di sana kami punya wali negara, bangsa awak. Di sana, segala lapangan kerja terbuka lebar-lebar bagi bangsa awak. Di sana, bagian terbesar tentara polisi, alat negara bangsa awak. Di atas segalanya, kami di sana hidup dalam damai. Rukun berdampingan antara si putih dan bangsa awak..."

[Bapak]
"Dan di atas segalanya pula, di sana si putih menjadi yang dipertuan. Dan sebuah bendera asing jadi lambang kedaulatan, lambang kuasa; penjajahan. Dapatkah itu kau artikan suatu kemerdekaan?"

[Sulung]
"Ah, Bapak berpikir secara politis. Itu urusan politik."

[Bapak]
"Nak, kemerdekaan atau penjajahan selalu soal politik. Selalu merupakan buah politik."

[Sulung]
"Baik-baik. Tapi ya, Bapak, kita bukan politisi."

[Bapak]
"Nak, setiap patriot pada hakikatnya adalah seorang politisi jua. Kendati tidak harus berarti menjadi seorang diplomat, seorang negarawan. Dan justru karena kesadaran dan pengertian politiknya itulah, seorang patriot senantiasa membangkang terhadap tiap politik penjajahan. Betapa pun manis bentuk lahirnya. Renungkanlah itu, Nak! Dan marilah kuambil contoh masa lalu. Bukankah dulu semasa kita masih hidup, keluarga dalam suasana aman tenteram dan masa pensiun enak, sudah dengan sendirinya berarti hidup dalam kemerdekaan? Tidak anakku! Kemerdekaan tidak ditentukan oleh semua itu. Kemerdekaan adalah soal harga diri kebangsaan, soal kehormatan kebangsaan. Ia ditentukan oleh kenyataan, apakah suatu bangsa menjadi yang dipertuan mutlak atas bumi pusakanya sendiri atau tidak. Ya, anakku, renungkanlah kebenaran ucapan ini. Renungkanlah..."

[Sulung]
"Menyesal ya, Bapak. Rupanya kita berbeda kutub dalam tafsir makna..."

[Bapak]
"Namun, kau Nak, kau wajib untuk merenungkannya. Sebab, aku yakin kau akan mampu menemukan titik simpul kebenaran ucapanku itu."

[Sulung]
"Baik, baik. Itu akan kurenungkan, mungkin kelak aku akan membenarkan tafsir Bapak. Tapi, sekarang ini dan dalam waktu mendatang yang singkat, aku belum bersedia untuk mempertimbangkannya. Lagi pula, kita sekarang diburu waktu. Karenanya, kumohon agar Bapak berkenan sekali lagi mempertimbangkan usulku. Setidak-tidaknya demi kedamaian hidup masa tua. Bahkan, sebenarnya juga demi masa depan adikku satu-satunya itu. Tapi, karena dia lebih memberati masa nikahnya dengan seorang perwira TNI, terpulanglah pada kehendaknya sendiri. Cuma, telah kupesankan padanya agar ia segera saja pindah ke pedalaman yang masih jauh dari jangkauan peluru meriam. Karena, kurasa wajah kota tercintaku ini tak lama akan hancur ditimpa kebinasaan perang."

[Bapak]
"Nak, apa pun yang akan terjadi aku akan tetap bertahan di sini. Dan bila mereka melanda kota ini, insya Allah aku pun akan ikut angkat senjata. Bukan karena rumah dan tanah waris. Tapi karena kemerdekaan bum pusaka. Ya, mungkin pembelaanku sekali akan kurang berarti. Namun, dalam setitik amal baktiku itulah kutemukan bahagia dalam sisa usiaku. Dan kalaupun aku mesti mati untuk itu, niscayalah aku ikhlas mati dalam damai di hati. Nah, kau pun tahu aku tidak pernah memaksakan kehendakku pada anak-anakku. Bila ada anakku yang yakin bahwa masa depannya di daerah pendudukan akan lebih membahagiakan hidupnya, silakan pergi! Begitulah, bila adikmu mantap untuk mengunsi ke sana, silakan pergi bersamamu! Tapi adikmu dibesarkan dalam alam kemerdekaan, jadi dia tentulah dapat menilai arti kemerdekaan. Karenanya, aku yakin ia akan tidak pernah ragu untuk menentukan ke mana cinta hidupnya hendak dibawa. Dan kurasa bukanlah soal pernikahannya dengan seorang perwira TNI yang menjadi timbang rasa, timbang hatinya. Tapi pengertian cintanya pada kemerdekaan bumi pusaka!"

[Sulung]
"Ah, Bapak terpanggang oleh api sentimen patriotisme. Ya, ya, aku memang dapat mengerti, lantaran dulu Bapak pernah menjadi buronan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, sampai-sampai almarhumah Bunda wafat dalam siksa kesepian dan kegelisahan karena Bapak selalu keluar masuk penjara. Dan, kini rupanya Bapak menimpakan segala dendam itu kepada pemerintah kerajaan. Bapak, sebaiknya lupakan masa lalu. Lupakanlah semua duka cerita itu!"

[Bapak]
"Anakku sayang, kebencian pada mereka, dulu, sekarang, dan besok, bukanlah karena dendam pribadi. Tidak! Pembangkanganku dulu, sekarang, dan besok bukanlah karena sentimen, tapi karena keyakinan. Ya, keyakinan bahwa mereka adalah penjajah. Keyakinan bahwa membangkang penjajah adalah suatu tindak mulia, tindak hak. Untuk itulah aku rela menderita dan mengorbankan segalanya, Nak. Dan aku bangga untuk itu. Juga almarhumah bundamu, Nak. Karena ia tahu dan sadar akan arti pengorbanannya. Tidak akan pernah akan tersia. Meski takkan ada bintang jasa atau tugu kenangan baginya..."

[Sulung]
"Lepas dari setuju atau tidak, aku kagumi Bapak dalam meneguhi keyakinan. Ya, lepas dari setuju atau tidak. aku kagumi kesabaran dan ketabahan almarhumah Bunda. Untuk itulah, aku selalu bangga pada Bapak dan almarhumah Bunda. Juga pada adikku seorang yang begitu tinggi kesadaran pengertaiannya, begitu agung cintanya kepada kemerdekaan, meski tafsirannya adalah tafsiran yang Bapak rumuskan. Dan, ya, kita memang mesti berbangga diri dalam meneguhi cita dan keyakinan masing-masing. Tapi, ya, Bapak, usulku tak ada sangkut pautnya dengan masalah kebanggaan-kebanggaan pribadi. Usulku cuma keselamatan pribadi."

[Bapak]
"Kau benar, usulmu memang tak bersangkut paut dengan kebanggaan pribadi. Tapi, usulmu itu langsung menyentuh keyakinan pribadi. Dan menurut jalan pikiran keyakinanku, usulmu itu wajib ditolak. Mutlak! Sebab pengorbanan keyakinan, bagiku nilai rasanya sungguh teramat nista. Tengoklah sejarah, lihatlah, betapa para satria Muslim syahid dalam membela dan meneguhi keyakinannya. Betapa kaum Nasrani begitu pasrah mati dikoyak-koyak singa di zaman nero. Ya, mereka yang Muslim, yang Nasrani sama tulus ikhlas mati syahid menurut anggapannya, daripada mengorbankan keyakinan yang mereka teguhi."

[Sulung]
"Ya, bila memang Bapak begitu teguh pada pendirian yang Bapak anut, apa boleh buat..."

[Bapak]
"Tapi, Nak, izinkan aku bertanya. Bagaimana sikapmu dalam perjuangan pembangkangan kita melawan penjajah?"

[Sulung]
"Sudah kunyatakan tadi bahwa antara kita ada perbedaan kutub, perbedaan dalam merumuskan tafsir makna. Kita menempuh jalan yang berbeda. Bapak memilih jalan pembangkangan, aku sebaliknya. Konsekuensinya memang berat. Satu tragedi. Dan menurut tanggapanku, tragedi yang bakal menjadi tanggung jawab kaum ekstremis, dari pihak yang sekeyakinan dengan Bapak."

[Bapak]
"Sayang sekali, Nak, kita tegak dalam dua kutub yang bertentangan secara asasi. Tapi, keliru bila kau menimpakan kesalahan dan tanggung jawab segala duka cita pada pihak kami, Nak. Kami cinta damai, tapi adalah pasti lebih mencintai kemerdekaan! Dan bila pihak kalian membenarkan tindak paksa, tindak kekerasan dalam menindas gerak perjuangan kemerdekaan, pihak kami pun membenarkan pembangkangan bersenjata. Bagaimanapun juga, kedudukan kami adalah bertahan diri. Nak, sejarah membuktikan bahwa sejak kaum penjajah melangkahi bumi pusaka ini, merekalah yang menciptakan segala sengketa berdarah antrara sesama kita. Politik penjajahan merekalah yang menghasilkan duka cerita di tanah air. Ya, di mana saja. Adalah kaum penjajah yang menjadi biang keladi dan yang bertanggung jawab atas segala duka cerita bangsa yang terjajah!"

[Sulung]
"Begitu pendapat Bapak? Memang, Bapak ada hak penuh untuk berpendapat demikian itu."

[Bapak]
"Nak, keyakinanmu salah, sadarlah!"

[Sulung]
"Salah bagi Bapak, benar bagiku. Dan aku sadar benar akan itu. Dan aku bersedia menanggung risiko."

Si Sulung melangkah ke dalam.

[Bapak]
"Ya, memang keyakinan tidak bisa dipaksakan. Tidak juga oleh seorang bapak kepada anak sendiri. Namun, bagaimanapun, aku telah mengingatkannya."

Dari dalam rumah kedengaran suara isyarat pesawat pemancar isyarat. Bapak tersentak keheranan. Dan dengan penuh curiga si Bapak melangkah ke dalam.
Si Bungsu muncul dengan mencangklong tas penuh berisi bungkusan makanan dari sayur-mayur.

[Bungsu]
"Eh, ke mana semua ini?"

Di luar kedengaran orang mengetuk-ngetuk pintu permisi.

[Bungsu]
"Oh, Mas. Mari silakan masuk."

Perwira muncul beriring senyum bersambut senyum Bungsu.

[Perwira]
"Maafkan, aku tadi tidak sempat menemui..."

[Bungsu]
"Lupakanlah! Yang penting Mas sudah ada di sini."

[Perwira]
"Di mana abangmu, Dik? Tentu ia amat jengkel padaku, bukan? Karena sejak kedatangannya di sini, ia selalu tidak berhasil dalam usahanya mengenalku. Ya, aku pun sangat ingin mengenalnya. Dapatkah kini aku yang memperkenalkan diri?"

[Bungsu]
"Tentu. Dan itu sudah kewajibanmu, Mas."

Mendadak dari dalam kedengaran suara tembakan pistol beberapa kali. Si Bungsu dan Perwira tersentak kaget.

[Bungsu]
"Kau dengar, Mas?"

[Perwira}
"Tembakan pistol!"

[Bungsu]
"Dari dalam rumah..."

[Perwira]
"Pasti ada sesuatu yang tidak beres di dalam sana. Adakan Bapak memiliki senjata api itu, Dik?"

[Bungsu]
"Setahuku, tidak."

[Perwira]
"Abangmu, barangkali?"

Si Bapak mendadak muncul dengan pistol di tangan kanan dan sebuah map tebal di tangan kiri. Mereka saling menatap dengan heran tegang. Si Bapak meletakkan map di atas meja, pistol diletakkan di atasnya.

[Bapak]
"Pistol ini milik putra sulungku...?"

[Bungsu]
"Bapak, apa yang terjadi?"

[Bapak]
"Aku ... aku telah menembak mati abangmu, anak kandungku sendiri."

Si Bungsu menjerit.

[Bungsu]
"Tapi ... bagaimana mungkin Bapak bertindak begitu?"

[Bapak]
"Bagaimanapun aku telah melakukan dengan sadar."

[Bungsu]
"Apa ... apa dosa abangku seorang?"

Si Bapak tenang duduk, berusaha menguasai diri. Lalu menatap ke arah Perwira yang masih terpaku keheranan.

[Bapak]
"Nak, lihatlah ada alat apa saja di kamar sana?"

[Bungsu]
"Bapak, jawab tanyaku tadi! Apa dosa dan salah Abang?"

Si Bapak terdiam. Si Bungsu terisak pilu. Perwira cepat pergi ke dalam. Sejenak sepi, selain sedu sedan si Bungsu. Kemudian, Perwira muncul dengan wajah memucat, tangan kanan mencangklong alat peneropong. Tangan kiri mengepit lipatan peta militer dan pistol isyarat.

[Bapak]
"Apa saja yang kau temukan di sana?"

[Perwira]
"Sebuah alat pesawat pemancar radio. Dan ini..."

Barang-barang diletakkan di atas meja.

[Perwira]
"Pistol isyarat. Peta militer secara terinci menggambarkan denah kota ini, lengkap dengan tempat instansi militer; kubu pertahanan kita."

Si Bapak menoleh ke arah si Bungsu yang masih tersedu.

[Bapak]
"Kau dengar sendiri, Nak? Abangmu, pengkhianat!"


Si Bapak gemetar tubuhnya dan suaranya bergetarlah.

[Bapak]
"Dia anak kangsungku, pengkhianat!"

Mata si Bapak berkaca basah, berulang-ulang menggumam kata-kata 'pengkhianat'. Dengan menahan amarah campur kepedihan hati, si Bapak mengeluarkan potret ukuran kartu pos dari dalam map yang tadi dibawanya. Potret diperlihatkan kepada si Bungsu dan Perwira.

[Bapak]
"Lihat, lihat! Dia dalam seragam tentara kolonial dengan pangkat letnan. Lengkap dengan bintang jasa khianatnya menghiasi dada."

Si Bungsu menghentikan sedu isakannya, cepat merebut potret dari tangan si Bapak. Gemetar si Bungsu menatap potret. Kemudian seolah potret itu lepas sendiri, jatuh ke lantai. Si Bungsu menutup kedua tangannya pada wajah beriring suara melengking parah.

[Bungsu]
"Abang!"

[Bapak]
"Tak perlu ia diratapi lagi, Nak."

Si Bungsu dengan mata terkaca basah mengangguk pelan sambil menahan kerunyaman hatinya dan deraian air mata kepedihannya. 
Si Bapak mengambil map, diserahkan kepada Perwira yang masih tertegun dengan wajah muram.

[Bapak]
"Bawa! Di dalamnya, penuh dokumen rahasia militer. Mungkin sekali juga kunci sandi dinas rahasia tentara kolonial. Sebab, dia ternyata opsir dalam dinas Rahasia Tentara Kerajaan."

Perwra menerima map.

[Bapak]
"Nak, izinkan kubertanya. Apa yang akan kalian lakukan padanya jika ia sampai menangkap kalian?"

[Perwira]
"Hukum tembak sampai mati."

[Bapak]
"Itu sudah terlaksana dengan tanganku pribadi."

[Bungsu]
"Tapi, kenapa mesti Bapak sendiri yang menghakimi?"

[Bapak]
"Karena dia anak kandungku. Karena aku cinta padanya. Ya, karena cintaku itulah aku tidak rela ia meneruskan langkah sesatnya. Langkah khianatnya, harus, ya, wajib dihentikan. Mesti dengan jalan membunuhnya. Tapi, dengan kematiannya aku telah menyelamatkan jiwanya dari kesesatan. Dengan kematian, berakhirlah kerja nistanya sebagai pengkhianat. Ya, sekali ini aku terpaksa memaksakan kehendakku pada anak kandungku sendiri. Dan dengan kekerasan dalam bentuk pembunuhan! Itu kulakukan tanpa dorongan dendam. Tanpa semangat kebencian pada pribadi almarhum. Dan itu akan ku pertanggungjawabkan dunia akhirat. Dia anak kandungku. Tapi cinta kebapaanku ada batasnya."

Si Bapak menoleh ke arah Perwira. Perwira cepat melangkah ke dalam. Si Bapak menghampiri si Bungsu.

[Bapak]
"Bagaimanapun, abangmu kini telah bebas dari cengkeraman tindak khianat."

[Bungsu]
"Oh, Bapak, betapa memelas kemalangan hidupnya."

[Bapak]
"Belas kasihanilah ia, sebagaimana kita menaruh belas kasihan pada jiwa-jiwa malang!"

Perwira muncul dengan mengemban jenazah si Sulung yang sudah diselimuti kain. Si Bapak memberikan isyarat agar jenazah diletakkan di lantai. Si Bungsu masih dengan mata berkaca basah menghampiri jenazah si Sulung dan dengan berlutut ia menyingkap selimut, ditatapinya wajah jenazah dengan berlinang air mata. Lalu, dengan gemetar kain selimut ditutupkan wajah jenazah lagi. Sambil bangkit ia menggumam lirih.

[Bungsu]
"Sesungguhnya manusia kepunyaan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada-Nya jualah akhirnya ia kembali."

Perwira mengeluarkan sebuah notes dari saku celananya.

[Perwira]
"Ini buku harian mendiang yang tadi kutemukan dari sakunya. Dan inilah catatannya yang terakhir. 18 Januari 1949. Semua laporan telah diterima Markas Besar. Beres. Tinggal kirim tanda O.K. besok pagi. Operasi badai bisa dilaksanakan menurut rencana X, 19 Januari, jam 12.00, Droppin zone di perbatasan utara kota, aman. Cukup diterjunkan satu kompi pasukan payung. Untuk mendobrak pertahanan TNI di jalan raya I, cukup dikerahkan satu skuadron tank. Sasaran altileri 3 derajat barat laut kota.  Keempat batalion Tiger Brigade digerakkan serentak, menembus pertahanan sayap kanan kiri TNI pada jalan raya 1 dan 2."

[Bapak]
"Sekarang tanggal 19 Januari!"

[Perwira]
"Kekuatan kita cuma 1 batalion. Sekarang jam 11.35."

Terdengar deru pesawat terbang. Mereka sama tersentak.

[Bapak]
Mereka datang. Cepat bertindak! Dan kau anakku, ikutlah bersama bakal suamimu."

[Bungsu]
"Bapak juga...'

[Bapak]
Tidak. Aku tidak akan pergi. Aku akan tetap di sini. Mereka pasti akan segera jenazah abangmu. Dan aku akan bikin perhitungan dengan mereka. Pistol ini akan memadai untuk itu."

[Bungsu]
"Tidak! Bapak mesti ikut kami!"

Terdengar ledakan bom menggemuruh disusul tembakan meriam.

[Bapak]
"Cepat pergilah! Cepat!"

Perwira yang telah mengambil barang-barang sitaan cepat-cepat menarik tangan si Bungsu. Keduanya berlari keluar, tetapi henti sejenak di ambang.

[Perwira]
"Selamat tinggal, ya, Bapak."

[Bungsu]
"Selamatlah ya, Bapak."

[Bapak]
"Selamat berjuang. Berbahagialah. Lahirkanlah pahlawan-pahlawan! Tuhan bersama kalian! Selamat berjuang!"

Perwira dan si Bungsu menghilang pergi. Ledakan-ledakan tembakan-tembakan kian dekat menggemuruh. Bersusul gencar.
Si Bapak dengan tenang menghampiri jenazah. Dibukanya kain yang menutup bagian wajah jenazah, sejenak ditatap dengan penuh keharuan.

[Bapak]
"Damailah rohmu di alam baka. Sebab Tuhan akan mengampuni dosa tiap hamba-Nya."

Wajah jenazah kembali ditutup. Lalu, dengan tenang si Bapak kembali ke meja, mengambil pistol. Tenang membuka kunci pistol. Dan dengan gerak tenang pula melangkah ke arah ambang dengan senjata di tangan.

[Bapak]
"Sekarang, telah tiba saatnya bagiku untuk bikin perhitungan dengan mereka, si biang keladi yang telah menimpakan duka cerita di tanah air. Inilah saatnya untuk bagiku berikan pengorbanan terbesar bagimu, ya, kemerdekaan bangsa dan bumi pusaka!"