Telahkah Kau Bahagia?

Dok. Pribadi
"Bila suatu hari nanti langit tenggelam di antara kehampaan semesta raya, biar sekali saja aku mengecup bibirmu."

Sebegitu berdosanyakah aku bila suatu hari nan begitu patah, aku merindukan sesosok pria. Pria yang telah bersama dengan pilihannya. Pria yang telah mencintai sebelah tulang rusuknya. Pria yang telah dengan rela mempersembahkan seluruh harinya. Lantas, haramkah aku bila aku masih menyimpan perasaan dengan segala ketulusan yang terpendam dalam dada, sementara aku menyadari penuh tentang kepemilikan hatinya. Dusta, mengapa kau selalu bersembunyi di kala aku mencarimu?

Maaf, Sayang. Aku terlalu takut menuliskan namamu. Sebab memangku hatimu bertahun-tahun saja sudah membunuhku untuk ke sekian kali. Malam ini begitu hening, ya? Hmm hening ini seperti hening-hening lainnya. Sunyi. Sunyi yang menuntunku kembali pada parasmu--yang sebagian orang mengenalmu tak menyebut rupawan.

Apa kabar, Sayang? Apa kabar dirinya, yang telah mendampingimu selepas kau menitipkanku pada sang malam nan pilu? Alangkah bahagianya potretan yang kau abadikan bersamanya. Iri hatiku. Melihat potretan demi potretan, terlebih lagi ketika kau mengecup keningnya dengan bibir lembutmu.

...

    Terdengar waktu berteduh pada akar
    Luputkan napas untuk sebentar
    Legamkan matahari penuh pendar
    Tanggalkan hati untuk biar

...

Akan tetapi, bukankah sudah seharusnya kusimpulkan senyum? Sebab aku yang dulu bersamamu tak pernah memberimu senyum seindah itu, senyum yang kusyukuri sekarang, senyum yang tak termaafkan!

Gerimis, aku rindu padanya. Aku masih berharap paling palung padanya namun mustahil rasanya kita kembali pada lajur yang sama. Sebab tak ada jalan yang kulihat untuk kita bersama. Percuma rasanya kita membangun bahtera yang teduh. Aku terlalu lemah dan ia terlalu kuat. Tak ada yang berubah. Sial! Aku hampir berani menukar seluruh tangisku untuk menyesalimu, laknat!

Mabuk sepertinya, menelan pedih yang begitu luka. Segala cipta membisu dalam diriku, hanya terurai dalam tasbih yang kau titipkan di atas alkitabku. Kapan kau pulang? Aku sudah terlanjur padamu. Ya, aku terlalu padamu.

Maka bila rindu terbangun hingga kasta menyakitkan, maafkan bibirku yang menyumpah serapah. Terlalu lama dan terlalu kalbu terpendam di bawah altar bertuliskan namamu dan namanya. Bahkan sesekali aku mencuri kesempatan untuk mengeja namanya--nama yang kau kuduskan dalam hatimu--sembari membaca ayat-ayat kitab suciku.

...

    Aku mengampun pada kisi jemarimu
    Getarkan telaga hati yang bermuara
    Tinggalkan nista dalam kandunganku
    Namun iman padamu tiada akan sirna

...

Ya, kau pergi. Dan tak pernah memintaku menunggu. Tapi, bagaimana lidah bertulang tanpamu? Berhentilah melangkah, kembali saja pada bait-baitku. Mungkin baitku bukanlah karangan Tuhan, tapi aku boleh menyimpan harapan, bukan? Retakan hati masih cukup mampu membawa seluruh nyala dalam bola matamu. Sebab hayat hidupku karenamu; gelap, terang, pun remangku.

Hanya kaulah rahim teramat samudra yang kukandung selama ini. Perihal hati yang merintih saja kau acuhkan, bagaimana bila aku merobek hatiku sendiri? Mungkin aku akan ditinggal mati dengan gulungan ombak paling mawar, benar? Tapi, percayalah. Demi bumi, hanya aku satu-satunya jalang yang bersedia menimang gugusan waktu untuk menunggumu.

Rasanya malam-malam persetan adalah malam-malam paling membelenggu. Menyeretku pada imajinasi, menguap dalam lamunan yang remuk, lamunan yang bertuan atas jejakmu. Absurd. Lenyaplah lautan makna yang membakar rinduku lagi. Tawanya mengurai sunyi dengan merdu yang bersatu atas tawa perempuan lain. Suaranya meluluhkan gema yang terkubur dalam pengasingan dadaku. Terlalu malu aku menghadap padamu dengan perihalmu seperti ini. Ah malam, bagaimana bisa seluruh napasku seharga rindu bila ia saja tega melupakan maaf untukku?

Malam, sudahkah ia memuntahkan doa-doaku? Aku rasa sudah. Tak heran jikalau bintang di langit itu menggemakan suara hatiku kembali yang baru kupanjatkan pada Maha Pengasih. Telahkah kau menginjak surga dengan seluruh kebahagiaan yang tak pernah sanggup kuberikan padamu? Selamat, Sayang. Kau telah bahagia dengan perempuanmu. Tak pernah kusangka kau secepat ini berlari sampai detak jantungku kalah berpacu. Hahaha! Maaf, Sayang, aku hanya ingin waktu lebih lama untuk kau berpaling. Itu saja.

Biarlah. Tak apa. Sebab sebentuk hatiku merupakan penggenapan kasih yang larut di kala dulu bersamamu. Jadi, jangan tanya dimana aku akan berlabuh, sebab aku sudah lupa bagaimana cara berlayar.

Bahkan hingga langit rata dengan tanah yang melahirkanku, dan ombak sebangsat halilintar; aku akan tetap meresapi namamu. Karena kuyakini, akulah biduan terkutuk yang mencintai setiap huruf pada namamu tanpa pernah mampu menyentuh jemarimu kembali.

Comments