Jangan Lupakan Seluruh Sunyiku!
"Tak apa bila kamu terlalu kasih padanya, namun demi langit jangan lupakan aku."
Aku terbangun dari gelapnya sungai yang mengalir pada telaga mati. Telaga yang kutunggui bertahun-tahun.
Tangis. Entah untuk apa dan karena apa. Yang kutahu aku selalu teringat bayangmu. Tak lebih. Kala itupun hanya doa-doaku yang mendengar lara dalam hati. Adakah tangis yang lebih mampu memecah rindu pada dada ini? Tidak kurasa.
...
Menari atas asa yang berlubang
Berdusta dalam seluruh hampa
Sebab tiada hati yang ingin dilihat
Terlelap dalam lara menganga
Hanya oleh dahaga temu
...
Adakah malam paling remuk untuk kusimpan? Selain malam dimana kau putuskan 'tuk meninggalkanku dengan segala hening yang luluh. Entahlah. Aku masih setia pada yang menikamku secara perlahan. Menciumku dengan rentetan bilah yang mengampun.
Ah Tuhan. Andai hendak acap sekali saja ia rasa apa kucoba bisukan. Andai ia tahu apa yang kucoba untuk binasakan. Rindu.
Bagaimana bisa jantung bernyanyi bila tawaku telah terkubur dalam pelaminan hatimu untuknya? Haruskah kutanggalkan seluruh nadiku untuk merebut tatapmu sebentar? Jangan paksa aku terlalu mati hanya untukmu saja. Seharga apa kelak hidupku jika kecapi menggemakanmu selalu? Tak bisakah aku jadi permata terpendam yang kau kecup di antara surgawi?
Gabriel, luputkanlah aku dari hati terkutuk Lucifer. Biarlah langit tetap menjadi langit dalam rupanya. Meskipun rupaku habis digerogoti ratapan yang menggelegar. Toh, aku pun tinggal menuggu sakratul maut menjamah.
Aku sadar dengan sungguh. Tak bisa aku laksana petir yang membelah awan. Atau dingin yang bersenggama dengan seluruh tanah yang basah. Jadilah aku layaknya embun yang tiba pada ruang dimana ada saat hangat sekadar. Embun yang merindukan teduh tanpa menusuk tulang. Sayang, teduh tak pernah merindukan embun. Sebab teduh telah memagut cangkir-cangkir kopi yang diciumnya atas nama napas dan tahun. Terikrarlah mereka dalam rona yang selamanya berjalan pada kisah yang dulunya ingin kurajut dengan aku sebagai sang cangkir kopi.
...
Andai gemuruh mampu
Tuliskan seluruh bisu yang ada
Redamkan binasa tanpa sukar
Bahkan memeluk jarak
Rindu~
...
Pernah, ketika aku berdusta, lelautan mengumpulkan kenangan yang terkubur dalam birunya palung. Menyala di antara deru ombak yang membakar tatapku dulu. Menerbangkan ke semesta raya yang penuh sesak dengan sunyi. Dan membiarkannya jatuh ke dalam dunia, bumi tempat dinyanyikannya kenangan itu. Hanyutlah sedemikian rupa dalam balutan tak terurai. Beku. Geming. Kembali tenggelam dalam samudra untuk dimuntahkan di kemudian hari lagi.
Andai oh andai. Aku tak membiaskan sinar yang hendak menjelajahiku waktu itu, mungkin sinar itu akan bersemayam tanpa kata.
Mengapa? Mereguk seluruh sunyiku hanya untuk kau jadikan merpati bagi perempuan terkasihmu.
Sepantasnyalah kau tahu bahwa ketika kau membuka lembaran
hidupku, kau tak dapat meninggalkanku dengan tulisan-tulisan nista yang
menangis. Hidupku bukan hanya seharga dirimu yang boleh kau titikkan
begitu saja.
Sanggupkah pintu lain berbuat lebih dosa ketimbang aku yang
merindu pada batang bertunas? Tunas yang melahirkan bahagia hingga
menggema di antara tebing hatiku. Mendesakku sampai di ujung langkah,
berjalan di atas ketiadaan untuk jatuh tanpamu.
Jangan ceritakan diriku pada bumimu, tanahmu, bahkan darahmu. Biar kamu saja yang mengingat namaku tanpa satu abjad yang mengenalmu mampu melafalkan namaku. Sekalipun itu Tuhanmu. Sebab rasanya tak terlupakan olehmu seorang adalah berkat melimpah. Namun adakah insan yang mengenal seisi surgawi sebelum menyentuhnya?
Ya, kutuklah aku selagi bisa. Sebelum legam jejakku--yang kau gantikan dengan jejak perempuan yang bersandar padamu--menggelar tombak tanpa mengampunkan satu maafmu, Sayang.
Dok. Pribadi |
butuh waktu baca posting dng diksi begini, tapi rasanya kok sayang liat ini ditampilin di blog. Rawan penculikan ide soalnya
ReplyDeleteoh, kalo gitu ada saran gk mbak sebaiknya saya post dimana? :)
ReplyDelete