Menggelar Gulita

Bumi terlewat bulat dipijak
Pintaku jangan cintaiku
Sebab terkadang terlampau jalang
Warnai samudra dengan tabir nista
Namun, terkadang begitu Allah
Curamkan keparat dengan segala tangan seolah mentari
Pantaskah?

Janji tanah perjanjian mengudara
Rempah-rempah nelangsa merayap nyaring
Kelopak mata terpejam perlahan
Helai-helai rambut menari usil
Terdesak lancang muntahkan satu cabang

Dimana Engkau, Tuhan?

Aku ingin lebih dilahirkan
Aku ingin lebih dikuburkan
Luruh mata dan telingaku, si perempuan
Jiwai penglihatan dan pendengaran

Intervensi dan manipulasi
Diskriminasi dan intimidasi
Pembunuh dan pencuri
Pengkhianat dan pembasmi
Hadir membingkai hidup tanpa mati berarti

Asam terus mengalir melalui epidermis
Torehkan jerit tiada deru
Mengelupas kejujuran dan merobek ketulusan
Pupuk deras pesakitan berumur panjang
Selayaknya teluk-teluk keadilan runtuh ditengah harapan

Kaulah piala surgawi nan suci
Pemimpin jalan bagi penakluk tanah sarat mimpi
Elu dimana-mana tumpah mengais terang yang bersembunyi
Ucaplah desakan nestapa yang menemani

Dimana Engkau, Tuhan?

Olah iman kaum mayoritas maupun minoritas
Fanatik maupun apatis
Modern maupun ortodoks
Yakin maupun skeptis
Mohon pelihara janin pikiran dari lidah pengiris
Baik pahit maupun manis

Sudilah tinggal dalam kami, pengalpa
Di tengah pasang relung nan tuah
Sudilah ajar kami pahat sembuh mengada
Di antara kecewa dan cemas nan merekah

Gulita jelma pudar lalu pekat
Pikat bilik amarah lalu air mata
Bersenggama dengan bimbang lalu sesat
Intim menyusuri sumsum doa barangsiapa menua

Jawablah, Tuhan

Pondasikan menara kepercayaan
Simbolisasi peleburan antara aku bersama aku
Bentuk penyerahan antara aku bersama kekasihku
Stigma kontras antara aku bersama penipuan
Reinkarnasi batang ketegaran dalam tubuh batin

Ada apa dengan kegemaran manusia kumpulkan angka?
Bukan untuk susun logika, melainkan perhitungan tolol
Ada apa dengan hobi manusia cemari otak?
Bukan 'tuk saling lengkapi, melainkan perbandingan arogansi

Fatamorgana ini terus berlari
Sungutan obor mengepul semua langkah
Lemah jemari terampas dari peluh hati
Kecup pemberani di tengah jalan hingga lumpuh

Sekiranya waktu bersedia pangku ampunku
Cerailah optimis dan pesimis sejak ribuan pekan lalu
Tiada tanya dan titik beradu
Cerca di atas jejak telapak yang melaju
Usir pecahan ragu yang meragu
Sayang, kini jadi apalah aku?
Pekik nan tersapu

Retoris itu sarkasme
Mengingat hampa yang bisa ditertawakan
Selain pandirku yang bersandar pada cakrawala
Dahaga ku tumpuk risaunya bisu

Dimana Engkau, Kekasihku?

Jakarta//7.24.14

Comments