Membakar Cerita yang Bernapas

Mas Hairan Teguh (Dok. Pribadi)
Setelah kelewatan beberapa blok, akhirnya saya tiba di Liwi's Pizza pada pukul 18.44. Dari parkiran, tampak beberapa staff Ramen Akashi telah tiba duluan. Mereka bergegas ke dalam dan hilang begitu saja. Posisi saya yang saat itu berada di seberang restoran tersebut, harus menunggu sebentar sebelum bisa menyusul mereka. Sebab ini pertama kalinya saya mengunjungi resto tersebut, saya agak kebingungan namun seorang staff Liwi's Pizza segera mengarahkan saya ke sebuah ruangan khusus ketika saya mengatakan dari Ramen Akashi.

12 Januari 2017 pukul 19.00. Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, seluruh staff Ramen Akashi berkumpul beserta Ichi-san, Ka Devi, dan pihak stasiun televisi Jepang. Pun termasuk Mbak Reny yang baru saja resign per awal bulan ini. Kurang lebih 20 menit, kami pesan makanan. Untuk minuman, Ichi-san mengusulkan es teh dimana semuanya tidak keberatan kecuali saya.

"Ichi-san, Ka Odes gk mau es teh, katanya", terang seorang staff di tengah keributan staff yang tengah asyik memilah-milih makanan.

"APA? Odes-chan tidak mau makan?", tanya Ichi-san sambil melihat saya keheranan.

"Bukan, bukan, Ichi-san! Ih, saya mah jelas mau makan. Tapi, saya gk mau minum es teh. Saya pesan air mineral aja", jawab saya sambil melambaikan tangan berkali-kali mengingat belakangan ini tenggorokan saya terasa gatal.

Kemudian, dilanjutkan dengan inti acara yaitu public speaking. Dari jauh-jauh hari, kami telah diberi PR untuk menentukan tema yang dapat dibicarakan selama 5 menit. Giliran ini ditentukan oleh keberuntungan kami masing-masing. Kami diberi kesempatan untuk mengambil satu gulungan berisi angka yang mewakili urutan jalannya public speaking tersebut. Tanpa babibubebo, dimulailah public speaking ini.

Dengan tema yang telah dipersiapkan, saya dapat mengamati perbedaan antara satu sama lain lebih konkrit. Ada beberapa yang memiliki persiapan sangat matang melalui browsing sana-sini (nearly as good as presentation) untuk memberikan gambaran lebih terperinci akan topik yang diusung. Namun, ada juga yang cenderung lebih put an effort saat tampil mengingat mereka memiliki kemampuan membawa diri di depan orang banyak dan cukup familiar dengan pemilihan topik tersebut.

Ini bukan soal mana yang baik dan tidak. Terlebih ketika tema mereka itu bersifat informatif. Saya pribadi sepaham dengan Ichi-san bahwa saya tak mengira mereka akan sanggup sebaik ini. Lantas, apakah ini berarti saya meremehkan mereka?
Nizham who made his own sasirangan shirt (Dok. Pribadi)
Jelas tidak. Sebab saya sendiri pernah mengalami gugup yang luar biasa (dan untuk kasus ini saya bahkan masih perlu merombak beberapa kali struktur speech making saya). Oleh karena itu, tentu masih ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki kembali namun bagaimana mereka menutupi dan berusaha mengatasinya dengan tetap menyelesaikan pembahasan itu adalah sesuatu yang impressive. Completely beyond expectation.

Tema yang dibahas sangat beragam. Mulai dari sejarah sasirangan, kutipan-kutipan inspiratif, kecanduan teknologi, hobi sebagai sumber penghasilan, sampai hal yang bersifat personal seperti korban bully dan ajakan agar jangan dituhankan oleh uang. Dua topik terakhir inilah yang mendorong saya menulis judul di atas.

Sebagai korban bully di bangku sekolah, Della menyembunyikan sebuah luka tersendiri. Luka yang ia simpan sendiri itu lama-kelamaan berkembang menjadi trauma dan mengubah karakternya sebagai introvert. Bahkan diakuinya juga sulit untuk terbuka kepada orangtuanya. Contoh bully yang ia alami antara lain candaan yang kelewatan dan dibongkarnya curhatan yang ia percayakan kepada teman-teman terdekatnya. Namun, dengan bercermin terhadap luka itu juga, ia enggan menyakiti orang lain dengan melakukan hal serupa yang dilakukan oleh teman-temannya.
Della was crying and laughing while sharing her experience (Dok. Pribadi)
Sebelumnya saya belum pernah mendengar pengalaman semacam ini dari orang yang saya kenal. Mendengarnya secara nyata, menyadarkan saya bahwa luka semacam ini membuat masing-masing dari kita sebagai pribadi yang istimewa.

 Kita bak cakrawala
Ada kalanya terbit, pun terbenam
Beradu dengan langit biru dan kumpulan awan
 Di antara waktu, ada yang tak mengharapkan kita
Namun, adakah cakrawala menggubris sebuah kata dari kebencian?
Tidak, ia pilih agar jalannya senantiasa terang
"Tapi, kita hanya manusia", katamu
Maka, jadilah terang dengan caramu sendiri, Sayang


Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan mendukung jalannya staff meeting Ramen Akashi ini, termasuk Liwi's Pizza yang telah memberi ruang untuk kami. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada pihak stasiun TV Jepang yang telah meliput dari tanggal 11 hingga tulisan ini diturunkan.  

Gomawo, Oppa~ ありがとうございました (Dok. Pribadi)

Note: Oh, Google Translate. Thank you for translating those last words into Japanese.

Comments

  1. waah... seru sekali kayanya ya, Mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak Mia. Acara sederhana seperti ini emang selalu bisa dibikin seru :D

      Delete
  2. Sasirangan itu apa ya mbak? batik ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggih, mak Dewi. Sejenis batiknya orang Banjar sini walaupun motif dan pembuatannya beda banget :)

      Delete

Post a Comment