"Penulisan event ya masuk tempat sampahlah, Des"

The PR Masterclass page 19 (Dok. Pribadi)
Pukul 21.53 WITA, saya tiba di gedung Banjarmasin Post (Bpost). Jalanan tampak cukup sepi dan saya terus berjalan mendekati pos satpam. Saya segera tanyakan mengenai keberadaan seorang redaktur dan satpam tersebut bertanya apakah sudah membuat janji (yang saya iyakan di jam 10) sebelum menghubungi bagian redaksi di lantai 4. "Sedang off, mbak. Mungkin beliau lagi di luar, nanti datang ke sini. Silakan tunggu aja di dalam lobby," jawabnya.

Setelah 12 menit duduk dan menunggu di tengah sunyi, saya putuskan untuk mengirim pesan singkat dan menerangkan keberadaan saya kepada redaktur tersebut. Lantas, 5 menit kemudian terdengar suara "ding" dari eskalator dan tampaklah mas redaktur supel tersebut dengan senyum sumringahnya.


"Apa kabar? Wah, uda lama gk ketemu. Kamu sekarang dimana?" Setelah basa-basi singkat, saya jelaskan tujuan saya datang, yaitu menginformasikan akan kedatangan salah satu stasiun televisi Jepang ke kota Banjarmasin. Terhitung mulai dari tanggal 11 sampai 14 Januari. Belum dapat dipastikan apakah tanggal 11 mulai shooting atau tidak mengingat mereka baru tiba di tanggal tersebut. Namun, di tanggal 12 jam 7 malam mereka siap meliput kegiatan staff meeting Ramen Akashi. 

Niat awal adalah meminta redaktur tersebut agar sudi membaca press release saya nantinya mengenai kegiatan di tanggal 12 itu. Syukur-syukur kalau diberi evaluasi. Akan tetapi, redaktur tersebut menolaknya sambil tertawa, "Kalo penulisan tentang event ya masuk tempat sampahlah, Des." Kendati demikian, beliau menyarankan agar pemberitaan ini diliput langsung oleh jurnalis surat kabar tersebut.

Saya ikut tertawa dan mengatakan "oke" atas masukan redaktur tersebut. Tapi, hati hanyalah hati dan tentulah ada makna sebuah hati terutama bagi saya seorang yang keras kepala. Maka, pembicaraan yang kami lalukan ini setelah menuju lantai 4, saya tanyakan lagi dua kali di waktu yang berbeda. Pada akhirnya, beliau mengiyakannya dan saya tak bertanya lagi selepas saya menjawab "oke" pada diri saya sendiri.

Mengingat saya bertemu kembali dengan beberapa redaktur dan penanggung jawab setelah 2 tahun tak bersua, maka kami pun berbincang dan bercanda sebentar. Saya tiba di rumah pukul 00.45 dan mengabari teman saya bahwa akan ada jurnalis dari harian Bpost yang datang meliput.

Sembari bercerita ke macan tutul (panggilan sayang untuk cece) saya, dia pun menuangkan pendapatnya. Bahwa memang tak mudah untuk mendapatkan izin mengingat redaktur tersebut dihadapkan pada sebuah konsekuensi atas tulisan yang diterbitkan. Mereka harus bisa bertanggung jawab dan karena itu, mereka punya hak untuk memilih apakah sebuah tulisan layak terbit atau tidak.

Rasanya saya sangat egois, memaksa orang mengiyakan kehendak saya. Bahkan saya begitu kecewa mendapat diri sama dengan praktisi bodoh yang tidak menemukan apa yang diinginkan oleh jurnalis atau pembaca. Padahal, saya tengah membaca buku The PR Masterclass-nya Alex Singleton.

Apa arti membaca bilamana pengertian hanya terbatas pada ruang pikiran tanpa sungguh menerapkannya? Terlebih ketika saya mengingat kutipan yang saya jadikan pada page header dalam blog saya sendiri.

"Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan."
Pramoedya Ananta Toer - Bumi Manusia


Walaupun begitu, saya akan tetap menulis press release itu. Apakah saya akan 'bunuh diri' dengan mengirimkan materi tersebut kepada redaktur tadi atau mempublish di laman ini sebagai arsip pribadi, masih saya pertimbangkan. Yang jelas, saya tidak akan pernah berhenti menulis.

Kalaupun saya mati dalam medan perang ini, tak jadi perkara. Sebab sejatinya kita tak dapat hidup dalam kekecewaan terlepas kita juga tak mungkin hidup tanpanya. Biarlah kita mengalaminya, toh setidaknya kita telah berusaha. Saya juga percaya bahwa masing-masing dari kita setidaknya punya satu medan perang yang sanggup kita menangkan.

Cheers!

Comments

  1. Insight yg menarik... thanks for sharing 😊

    ReplyDelete
  2. Semangat menulisnya mbaa! In the end, tiada hasil yang mengkhianati usaha kan ya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semangat juga, mbak Nabila ;) Haha juelas itu

      Delete
  3. Aku bisa memahami sih kenapa pada awalnya redaktur sempat menolak. Seingatku, karena dulu aku kuliah di Jurnalistik, jika menulis berita, news valuenya harus jelas.

    Mungkin supaya dimuat, yg diangkat harus kehebatan si Ramen Akashi ini, produk lokal yg sampe bisa diliput stasiun TV jepang.

    Semangat nulisnyaa Mbaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sendiri juga ragu, mbak melihat kemampuan saya dan belum punya pengalaman begini. Tapi, kalo gk saya coba sekarang, kapan lagi?

      Semangat juga buat mbak Gifta! Makasih ya atas masukannya

      Delete
  4. templatenya bagus mbak..suka design ya ? semangat menulisnya mb

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih hehe iya, mbak Prana. Semangat juga ya mbak

      Delete
  5. Ditolak memang sakit ya Mba', tapi jangan lupa untuk terus semangat, salam kenal. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga, mbak Aulia. Haha iya mbak, kudu semangat selalu ;)

      Delete
  6. Tetap semangat mbaak! jangan pernah mundur untuk menulis :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wuah, ketemu Mak Dewi lagi nih hehe. Pasti mbak, saya gk bakal berhenti menulis

      Delete
  7. Semangat selalu Des, seperti ada yang bilang penolakan adalah awal kemenangan 🤗

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pasti, mbak Sari. Makasih, ya buat kata-kata mutiaranya hehe

      Delete
  8. Inget Minke jadi inget Nyi Ontosoroh *gagalfokus* eh mngkin pada beberpa keadaan kita hrs keukeuh dan keras kepala seperti nyi ontosoroh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wueleh wueleh Nyi Ontosoroh? Haha
      Iya, mbak Rina. Saya masih kudu belajar lagi nih untuk liat sikon hehe makasih ya mbak untuk masukannya

      Delete

Post a Comment