Maaf Tuhan, Aku Berdosa
Pagi ini, aku telah terbangun untuk ke sekian kalinya dari malam-malam burukku. Sulit untuk melewatinya seorang diri, bahkan bersama seseorang yang tak kukenal sama sekali. Terkadang aku masih teringat beberapa nama dari mereka, sebab ada yang kembali dengan membawa senyum atas kepuasan yang telah mereka dapat sebelumnya dan berharap mendapat pelayanan yang jauh lebih baik.
Maafkan aku, Tuhan.
Awalnya, aku perawan hingga nasib sial menghampiriku. Saat aku pulang sekolah, aku melewati jalan setapak yang berujung di sebuah gubuk kecil. Biasanya gubuk itu sepi, tapi siang itu ada banyak laki-laki disana. Aku pikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, semakin dekat aku melangkah, semakin jelas kulihat bahwa mereka bukan penduduk di kampung itu. Kegelisahanku mulai timbul, terutama saat mereka mencegahku melewati gubuk tersebut.
Maafkan aku, Tuhan.
Dengan tertatih, aku berjalan. Sakit. Aku meringis setiap kali mencoba untuk menggerakkan kedua kakiku. Ingin rasanya aku duduk dan menumpang bila ada kendaraan yang lewat. Tapi hari itu sudah terlalu larut. Tidak terasa aku telah tiba di depan rumahku. Aku takut tapi aku tidak mampu menaiki anak tangga rumahku. Dengan gemetar, kupanggil ibu. Ayahku yang sudah siap dengan ikat pinggang melilit di tangan kanannya, ibuku yang sudah memegang sapu lidi; tiba-tiba mereka menjatuhkan semua yang ada di tangan mereka.
Maafkan aku, Tuhan.
Jangan salahkan aku, Ibu. Aku hanya ingin membiayai kuliah adik nanti. Aku mampu untuk menabung hingga dia benar-benar lulus kuliah. Lagipula ia masih berumur 8 tahun, aku punya waktu yang cukup banyak. Aku tidak mau ia seperti aku, hanya lulusan SMA. Ibu boleh menyumpahiku mandul. Malah akan kuamini agar aku bisa menjadi pelacur seumur hidup. Daripada menjadi seorang istri yang dinikahi hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual tanpa dibayar sepersenpun.
Maafkan aku, Tuhan.
Ayah boleh marah, namun perbolehkanlah aku kecewa karena permintaan Ayah untuk melupakan kejadian di gubuk tersebut. Mengapa? Apa karena ayah tidak sanggup untuk menemukan para pelakunya? Ataukah karena aku anak haram? Sebegitu berbedakah aku dengan adikku yang lahir sebagai anak kandung Ayah? Ayah, aku ngilu mendengar permintaan Ayah. Aku tidak bisa menerimanya, terlebih untuk berlapang dada. Tapi berjalan saja tak becus, menangis pun tak bisa. Sesak dadaku. Penuh dengan sakit yang tak bisa kuucapkan. Ayah, aku berdarah!
Maafkan aku, Tuhan.
Aku telah berdosa dengan segala hal yang telah terjadi padaku. Adakah rencana indah yang telah Engkau siapkan untukku, Tuhan? Entahlah, yang jelas aku akan tetap menunggu rancangan-Mu Tuhan sembari mencari sedekah dari para lelaki yang telah Engkau ciptakan untuk memberi tumpangan bagiku di pinggir jalan, berguling di atas kasur, kemudian menyelipkan uang di antara dadaku.
Sungguh, maaf Tuhan. Aku memang tak lebih dari hamba yang berdosa.
Ilustrasi (sumber: Dok. Pribadi) |
Comments
Post a Comment