Akulah Pasang Hatimu
"Jadilah apa yang kau kehendaki, sebab padamu adalah tujuan hidupku."
Ialah aku, jagad raya. Kau merupakan bongkahan bumi. Berputar di dalam keheninganku. Mengisi jiwa yang hampa ini dengan seluruh getaranmu. Dirimu sangat mentari. Aku paling api dibuatmu. Hanya tahu menelan kehangatan, tanpa mengerti bagaimana membaginya dengan alam semesta. Teruslah berputar. Sebab padamu adalah tujuan hidupku.
Udara terus mengalir, melintasi cakrawala yang membikin jarak di antara kita. Membuat setiap garis wajahmu terpancar bak semerbak aroma bunga di padang hati. Meruntuhkan setiap keegoisanku yang mendasar untuk kurajut dengan semesta duniamu. Menyentuh lapang hidupku tanpa kasta hingga ke sudut hati yang terlancip. Ah, memang kamu paling merpati. Bisakah kita menjadi cincin? Sebab padamu adalah tujuan hidupku.
Ketika jiwamu terlalu lelah untuk menghadapi malam, biarkan aku menjelma bantal Hello Kitty yang senantiasa berada dalam peluk lelapmu dari seluruh mimpi yang telah kita lewati bersama. Ketika jiwamu bersedikit gusar untuk menghadapi fajar, biarkan aku menjelma jam weker yang setia membangunkanmu dengan keikhlasan di antara mimpi lelapmu nan nirmala. Sebab padamu adalah tujuan hidupku.
Seluruh napas hidupku telah terbentuk pada namamu. Tak ada yang mampu kuingkari tentang kecintaan yang tertuju padamu. Mungkin kau bukan terlahir untukku. Akan tetapi, dalam setiap embun yang berbaur dengan teduh, meyakinkanku tentang hikayat yang bisa kita buat. Kebahagiaan.
Bila menara hatimu tak bertuan, biarkanlah aku menancapkan kasih paling dawai. Jemari kakiku tak sanggup berdiam diri, selain untuk meresapi kehangatan dirimu kembali. Tenggelam sudah ricuh yang tersembunyi, yang hanya ingin menemui damai dalam bola matamu. Percayalah padaku. Niscaya, relungku akan menjadi milikmu tunggal, Sayang. .
Bahkan bila malam menghempaskan seribu ombak ke bibir pantai, aku akan tidak goyah untuk berdiri di atas karang. Menjeritkan pasang seperti yang dialami makhluk hidup lainnya. Perkara yang akan tidak pernah beterbangan layaknya binatang aves yang kehilangan arah. Tiada yang mampu menggentarkanku, sekalipun badai di gurun sahara yang mungkin terlampau maut untuk kuhadapi sendiri. Biar semua yang telah terpahat di muka bumi ini mendengar bahwa kita telah membangun bahtera tanpa lekas. Aku dan kamu.
Namun, pada suatu hembusan angin, aku pernah bertanya. Bagaimanakah keadaan bila mentari tak pernah terbit kembali sebelum gulita yang panjang, dingin dengan bulan; intinya paling malam? Relakah mata dunia ini menduakan kita untuk berjumpa dengan matahari? Lantas, sanggupkah kita saling menjaga keelokan mutiara masing-masing hingga menghadap pada batu nisan kelak?
Jangan biarkan nyalanya api ini padam, karena sudah terlampau bumi untuk kau hembuskan begitu saja.