Sendiriku Sepeninggalmu
Februari 24 2012
"Bahkan bila sampai detik ini mengancamku, aku takkan pernah melupakanmu!"
Satu tahun telah melangkahi lembaran yang kita jalani. Kini, tiada lagi tentang kita. Hanya tentang angin yang samar menyerukan namamu. Sekadar gerimis yang meneteskan duka atas kasihmu yang terlahir biadap. Memisahkan yang kiranya ku tak pernah harapkan jadi sebegini laranya.
Biar hujan menghapus bayangmu. Biar sunyi memecah lukaku kembali. Pun dengan ombak yang menenggelamkan rinduku. Relungku hanya satu yang padamu. Teramat bagimu. Rantai apapun takkan sanggup menahan kasihku terhadapmu. Sekalipun ranting meranggaskan daunnya, kehilangan helai-helai hijau nan teduh dari batang coklatnya; kecintaanku takkan berlari meninggalkanmu. Akan segala hamparan dusta yang pernah kau miliki untukku. Selamanya.
Beberapa hari ini aku banyak berasa. Tentang bisu yang sebisu-bisunya. Tentang peluh yang sepeluh-peluhnya. Tentang terik yang seterik-teriknya. Tentang sayang yang sesayang-sayangnya. Satu yang mampu kutafsirkan bahwa sesungguhnya semua itu tentang kamu yang teramat kamu. Aku merindukanmu. Ya, aku mengaku. Aku merindukanmu, Jahanam!
Inikah yang kau kehendaki? Tentang segala yang kupunya terparkir di bawah detak jantungmu. Menaklukanku di bawah dentum nadimu yang terngiang di kala aku membutuhkan segala dadamu. Meruntuhkan duniaku dan merapuhkanku hingga tak mampu menyentuh langit-langit relungmu. Menjelmaku sebagai utusan hamba dari Yang Maha Esa, yang tercipta karenamu, yang terlempar jauh ke dalam sudut lingkaran hitam karena terjerat pada kata-katamu; menjadi rentan sebab surga-surga yang menari tak mampu kuraih lagi.
Aku hilang. Lekang dimakan makna yang terperangkap dalam sanubariku sendiri. Aku sadar, aku telah terlalu Calendula officinalis. Mengucap kasih melulu kepada awan yang membungkam semesta raya. Aku gila. Lenyap dihinggapi pikiran-pikiran yang mendengus sumbang dalam tawa tak berbahagia. Aku mengerti, aku telah terlalu larut dalam kesedihanku yang membinasakan rasionalitas. Sampai-sampai aku terlalu tolol untuk membedakan mana api dan air; untuk menentukan kapan aku harus berlari dan acuh saja ketika bertemu dengan matamu. Sial.
Cerita tentang kita selamanya menjadi kisah. Sebab tak sesuatupun mampu menjelma Symphyotrichum novae-angliae di tengah-tengah kita lagi. Bukan mereka atau tentang bumi yang kita pijak. Akan tetapi, karenalah sebuah putik. Seharusnyakah kamu mengungkit putik--yang pernah jatuh ke dalam kelopakmu--di antara kita? Seorang dia yang kamu pernah cintai? Lantas, bagaimana dengan seorang aku? Seorang yang tepat sedang berada dalam kelopakmu? Keparat.
Tahukah kau seberapa banyak aku menggoreskan air mata di atas karang yang paling batu? Tahukah kau seberapa banyak aku memendam perasaan paling dada? Tahukah kau seberapa banyak aku melayangkan kasih yang sekiranya tak pernah sampai ke dalam relungmu paling palung? Tidak. Kau tidak pernah mengetahuinya sebab tak ada yang mengusikmu untuk mengutarakan pertanyaan-pertanyaan itu padaku. Ah laknat kamu, Sayang. Benar-benar cuma kamu.
Untuk menebak secepat ini kau menemukan putik yang lain, pun tak pernah terduga. Rasanya baru malam lalu menginjak jalan setapak yang penuh dengan jejak kita namun hanya jejakmu yang masih segar. Jejakku saja yang sirna dengan jejak baru. Meskikah kau melihatku tenggelam menanggung para derita di antara lautan luka? Bangsat. Enyahlah.
Bila sekadar debu tak pernah berarti di hadapanmu, izinkanlah aku menguraikan nestapa dalam balutan kata-kataku ini.
Engkaulah sepasang mata paling lembut yang membikin rusuk. Menembus ketiadaan yang kurasa menjadi titik paling kasih. Sungguh, kasih yang kasih. Penyambung tunggal laksana mentari, begitu dawai kasih yang kau dendangkan. Aku menjadi mati didengarnya. Aku menjadi pencahari diantara napas. Aku menjadi relung dalam kedunguan yang kubuat.
Jangan sekali-kali kau bersungut tentang hari yang pernah kita lewati. Tentang surgawi yang pernah memberkati kita. Tentang jiwa yang pernah terperangkap dalam kalbumu. Tentang lubuk paling pedang yang pernah terengkuh. Tentang senyum yang bergeming untuk matamu. Tentang hampa yang kini menjalar ke sumsum tulangku. Ah aku terlalu lemah untuk menodongkan silet. Jadi, aku hanya memilih berdiam diri disini.
Sayapku tak sesungguhnya terbang. Melainkan patah dan hanya menyisakan tulisan-tulisan yang mungkin masih dapat kau raba seribu tahun lagi di atas karang sunyi. Bila kau ada waktu untuk menemuiku kembali, menanyakan kabar, dan tersenyum. Datanglah ke bibir pantai tempat kita pernah memagut hati. Di atas segalanya, akan kukirimkan sepotong rindu untuk menjawab kabarku kelak.
Selesailah doa-doaku yang sudi bersemayam dalam rongga-rongga dadaku ini. Tiada lagi yang mampu menghentikan jejak-jejak kakiku, sekalipun untuk menengok ke dalam jendela hatimu. Sebab mungkin langit sudah terlanjur rata dengan dasar neraka untuk menunggumu kembali pulang padaku. Selamat tinggal, Bajingan yang mengenalkanku pada kepiluan. Ya, selamat tinggal, Kekasih.
Teruntuk Veronica Paskah Elia Laura Manurung
Dok. Pribadi |