Benarkah? Bila Begitu, Dengarlah

"Hubungan antar manusia memang merepotkan. Tapi, kita tak bisa hidup sendiri."

Banyak bagian hidup yang masih bisa saya menangkan. Mungkin Anda telah menang dan saya telah kalah untuk pertandingan ini. Tapi percayalah, saya akan memenangkan bagian ini pula kelak. Meskipun saya takkan jadi Juara Pertama. Sebab saya dalam jalan menuju kemenangan itu. Hanya saja saya tidak tersandung, melainkan terperosok jatuh dalam jurang dimana gemanya tak mampu meraih gendang telinga mereka yang tengah berlari ataupun sibuk bersorak mendukung Anda. 

Kita tak pernah saling mengenal satu sama lain. Maka dari itu, berhati-hatilah dengan apa yang Anda katakan. Anda belum pernah berada di titik saya dahulunya, bahkan untuk menyentil garis tepi dunia saya saja Anda tidak sanggup. Bagaimana mau duduk dan menyaksikan apa yang saya hadapi? Pun dengan saya yang belum sanggup melompati langkah Anda yang lebih maju dari saya. Langkah yang memenangkan babak ini. Tapi saya tetap menjadi saya tanpa mencoba untuk berpikir apa yang Anda pikir. Sedangkan Anda berpura-pura mengerti apa yang saya rasakan. Membentuk kesimpulan-kesimpulan dari persepsi Anda yang absurd dan tak mendasar dengan alibi tahi kucing yang Anda pikir saya banget. Kadal!

Ya, tunggulah. Saya akan menang meski terlambat. Seperti yang saya bilang tadi, saya sedang memanjat untuk kembali pada lajur pertandingan itu. Mencari akar-akar pohon tunggang yang kuat pada lereng untuk saya jadikan penopang. Memukul jantung saya untuk berhenti merintih di antara sakit yang berpendar di sekujur tubuh. Mengumpulkan tenaga untuk mencapai titik jalur yang lekang selama ini. Walaupun titik-titik itu tak sama dengan Anda, sang pemenang. 

Kini, Anda sudah mendapatkan penghargaannya; suami yang sangat mencintai Anda, dan buah hati yang sangat Anda cintai. Saya pernah nyaris mendapatkan pemberian itu jua. Nyaris saja. Andai Tuhan bukanlah sang pencipta yang *maaf* serakah dan cerdas. Mungkin kata Anda itu hanya cobaan, ujian untuk memastikan seberapa jauh ketunggalan iman yang benar-benar satu pada Tuhan. Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Terserah. Sebab hal terindah yang pernah saya ingat adalah ketika saya menahan pilu di dapur. Mendengar sunyi yang menghantarkan energi yin pada diri saya. Meminta izin untuk meruntuhkan ketegaran saya hingga akhirnya saya tersungkur. Menyadari saya sendiri dan sendiri. Ya, saya terisak dan sendiri. Tak seorangpun tahu, kecuali Anda.

Tuhan memang terlalu pintar untuk memutar bola kehidupan ini. Menjadikan salah satunya adil dan yang lainnya tidak. Kamu memang menang, berhasil. Tapi jarang ada perempuan yang berhasil seperti Anda dengan mudahnya, mendapatkan sepupu saya yang gentle itu. Atau mungkin nasib saya yang sial dengan mendapatkan lelaki sundal tak beradab yang pernah satu kali saya cintai dengan seluruh pemaknaan tanpa syarat. Lelaki aib yang tidak saya sangsikan untuk hampir melepas karier, mimpi sejak kecil, dan segalanya. Lelaki brengsek yang memberkati rahim perempuan lain.

Saya sangat setuju dengan pernyataan Anda sebenarnya. Akan tetapi, saya bukanlah sosok yang sanggup hidup bersama kelas mamalia bergenus homo. Saya rasa lebih banyak perselisihan paham, dituntut bertenggang rasa, mengikuti etika untuk meninggikan kelas sosial, mengerti tanpa dimengerti, mendengar melulu pesakitan batin; pada intinya ialah menjadi pihak minoritas yang tertindas. Lantas, untuk apa saya hidup jikalau hanya sebagai pelengkap? Cukup untuk melapangkan dada. Saya akan jauh lebih mati bila terus seperti itu.

Mungkin saya memang bodoh dengan melemparkan diri secara tidak langsung ke dalam jurang tapi biarlah begitu adanya. Saya tidak ingin didikte. Saya ingin berlari menggunakan pemikiran saya, bukan orang lain. Oleh karena itu, biarlah saya menanggung seluruh resikonya tanpa harus menyalahkan siapapun. Ya, sekali ini saja. Mengapa orang-orang tidak memperbolehkan saya jatuh untuk berdiri lebih tegak?

Entahlah, rasanya saya juga berada di minggu-minggu tersulit kala itu. Menemukan kekerasan hati pada diri saya dan dirinya hingga waktu terbelah, masing-masing tangan terbuka untuk membuat pintu di antara jarak yang beku. Enam bulan. Pintu berbeda yang menyatukan kembali setelah beberapa kali pasang ombak tak menyapa. Benar, tak lama setelah kami memantapkan hati untuk berhenti bersikap angkuh pada Tuhan; Tuhan menjawab.

Saat itu, Bait Allah kosong. Gempita dengan bunga-bunga di ujung kursi panjang, lilin yang siap menarikan api di kedua sisi dinding, karpet merah di sepanjang koridor, bahkan korpus dalam keesaan yang tak tertebak. Kami tepat berada di altar. Hening. Sedang melukiskan kesiapan untuk menghadapi esoknya. Namun, perempuan dengan janin yang berumur tua itu datang dan memohon agar membatalkan acara itu. Saya mencari pasti dalam mata lelaki bajingan itu. Ya! Iya mengiyakan atas apa yang terjadi di antara satu dan enam bulan itu. Penyebab kelahiran yang tak lama lagi disambutnya dengan perempuan itu, bukan dengan saya!

Anda tahu? Saya mengenal perempuan itu yang dulunya merupakan teman sekamar saya di asrama, tepatnya saat SMA. Perempuan yang saya kenalkan kepada lelaki jahanam itu. Dan dengan entah bagaimana mereka membangun hubungan yang jauh dari dugaan saya. Mengapa saya tidak melabeli perempuan itu dengan umpatan sedangkan lelaki binatang itu terlabel selalu? Haha sebab sudah terlalu banyak umpatan yang saya bingkaikan pada perempuan itu dulunya. Sebuah permainan yang saya kira hanya dimonopoli oleh satu pihak dan itu adalah pihak ketiga. Ternyata, ban serep hanyalah ban serep jika tanpa kehadiran dongkrak.

Saya tidak tahu kabar mereka lagi. Terakhir kali, saya merutuki orangtua janin itu dengan berdoa di patung Bunda Maria di gereja itu, supaya nanti besarnya takkan menjelma jalang seperti mereka. Perempuan berhasil itu menangis seolah-olah saya manusia terkeji yang membentuk rangkaian kata pada Tuhan secara dosa. Lah, memang dimana salah saya? Bukankah lebih bersalah bila saya menyumpahi kandungan tak berdosanya?

"Jangan pernah membenci orang yang menyakitimu. Karena dari dia kamu belajar sabar, kuat, tegar, dan memaafkan."

Haha tidak. Saya tidak membencinya sama sekali, melainkan amat bersyukur pernah dipertemukan olehnya. Dan sebab ia pula, saya belajar untuk menyaring ucapan saya dengan otak agar tidak tampak lemah dan emosional. Saya menyimpan hati untuk menghindari perhitungan-perhitungan logika yang mencoba menundukkan saya. Hmm sepertinya begitu, saya menjadi sedemikan plegmatis.

Saya pernah mencintai dan membuat kesalahan. Saya pernah terluka dan menerima hati dalam keadaan setengah. Biar saya terseok-seok merakit samudra sendiri. Biar saya menelan derasnya sungai yang menghanyutkan saya. Namun, apakah saya menyesal mencintai lelaki itu? Tidak. Saya tidak bangga pernah memuja dia laksana dewa, tapi saya bangga mengakui kesalahan agar niscaya saya dapat menenun lebih baik lagi.

Semenjak itu, saya merumuskan pernikahan sebagai simbolitas yang tak saya temui lagi kesakralannya dan terbatas dengan budaya konservatif yang fundamental dan irasional. Menertawakan mempelai yang menguliahi saya tentang perawan tua dan kebahagiaan, bahkan dengan pertanyaan retoris (karena mereka tidak mau mendengar jawaban saya) tentang siapa yang akan merawat saya ketika tua? Bagaimana dengan kasih sayang? Persetan. Cukup sekali saja saya terjungkal. Saya akan mencarinya setelah saya sudah siap. Lagi pula, mungkin di dunia Anda, Tuhan Anda adalah Tuhan. Tapi di dunia saya, Tuhan saya adalah pekerjaan.

Oh, tidak! Bukan berarti saya lesbian atau tidak memiliki gairah seksual. Satu, dua kali, saya suka menggoda mereka. Mencari perhatian. Setelah dilirikpun, saya akan kembali tapi tidak dengan mereka. Anda tahulah, beberapa laki-laki memiliki harga diri yang tinggi dari cara mereka memandang kaum kita dan pantang berdiam sebelum mendapatkan hati kita. Tapi, saya tidak pernah mau ambil pusing. Sebab saya selalu memiliki teman laki-laki yang selalu melindungi saya.

Pada akhirnya, tak sedikit dari teman perempuan saya mengeluh di kemudian hari bahwasanya mereka tidak tahu sikap buruk pasangan mereka, atau tidak akan menikah bila tahu begini sejak awal, dan segala konsekuensi yang seharusnya mereka sadar sebelum membuat keputusan sejauh ini. Satu pikiran saya; pathetic.

Saya juga bingung bagaimana bisa sisi runcing yang mereka sudutkan sebelum menikah, menjadi sedemikan karat dan tumpulnya tanpa saya sudutkan. Lebih anehnya lagi, untuk apa mereka berbagi sisi karam itu dengan saya? Ketika mereka menangis, marah, bahkan putus asa; saya tetap menjadi kawan sebagaimananya. Pendengar yang bisa Anda sebut tempat sampah. Apa saya memberi saran? Pasti. Tapi saya tetap memberi masukan sesuai kapasitas saya karena saya tidak punya pengalaman di bidang ini dan saya tidak ingin menggurui siapapun. Lebih dari itupun, saya katakan bahwa mereka harus bertanggungjawab atas pilihan mereka. Saya tidak mendukung mereka, bukan berarti menyalahkan mereka. Saya manusia yang masih punya akal sehat di atas nurani. Dan saya adalah bagian dari mereka; perempuan.

Apa kabar mereka? Tidak tahu. Kabar burung. Ada yang rukun kembali, ada yang hanya seumur jagung. Sejatinya, saya tidak ingin mencampuri atau mengurusi masalah orang lain. Titik. Sebab rasanya melelahkan organ tubuh saya saja untuk menghasilkan energi dari glukosa yang saya konsumsi untuk membicarakan hal yang tidak bernilai.

Jadi, pernahkah Anda di posisi saya? Rasanya Anda melewati jurang itu dengan sukses. Singkat kata, ya tidak. Tapi, pernahkah saya di posisi Anda? Belum, tapi biarkan saya tertatih untuk menyelesaikan bagian ini. Kalaupun nantinya saya mati di tengah jalan, toh setidaknya saya sudah memenangkan babak lain di dalam jurang sana dan tahu gambarannya sedikit banyak tentang babak ini. Iya, 'kan?

Istirahatlah, besok ada sepupuku dan buah hati Anda yang harus Anda urus bak hari-hari biasanya. Sedangkan aku hanya aku yang aku. Cepat atau lambat, akan ada saatnya saya mengunjungi Anda dengan menimang bayi dan menggandeng seorang pria seperti sepupuku itu.


Note:
Terima kasih, Paskah atas status-status Facebook-nya

Jurang (Dok. Pribadi)

Comments

Post a Comment