Cinta Itu Sederhana

Dok. Pribadi

"Tak selamanya terang adalah jalan."


Pandangan saya ini objektif karena saya pernah merasakannya. Saya tidak akan berani memberikan pernyataan seperti ini tanpa bukti konkrit. Bukan maksud menghakimi tapi inilah kenyataannya. Bahkan tidak jarang, beberapa teman saya jatuh ke lubang yang sama karena mengikuti terang itu. Terang yang mereka anggap satu-satunya jalan, terang yang menjanjikan happy ending, terang yang sama sekali membutakan mereka (dan satu kali saya); cinta.

Pernah dengar peribahasa berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian? Begitulah. Tiada jalan instant untuk memperoleh kebahagiaan itu dan di umur saya yang terlampau muda dulu, memang keputusan konyol untuk mengambil langkah itu. Tapi tidak cukup konyol untuk menjadikannya sebagai pelajaran di kemudian hari. Entahlah antara polos dan dungu.

Saya berusaha mengubur terang itu. Bukan berarti saya yang meninggalkan. Tidak ada alasan saya untuk melakukannya karena tidak ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Sebab bagi saya, cinta adalah harus memiliki. Ya, cinta itu harus memiliki. Persetan dengan lagu-lagu zaman sekarang yang rentan. Mereka terlalu lembek, makanya menulis kisah-kisah lenje seperti itu. Obsesi? Sepertinya Anda salah memahami kata-kata saya.

Begini, cinta dan obsesi itu berbeda. Cinta; Anda akan berjuang untuk mendapatkan ketulusan dengan berbagai cara apapun yang sehat. Namun, ada kalanya Anda akan merelakan bila ketulusan itu mendapatkan kebahagiaan jauh lebih luas ketimbang samudra yang pernah Anda titipkan di hatinya. Sedang obsesi; Anda akan meraih tanpa mengerti bahkan memikirkan perasaan yang Anda obsesikan itu dengan keyakinan tentang cinta yang terlampau tinggi terbangnya dan mengira Anda diobsesikan pula hingga lupa bahwa belum tentu obsesi Anda terbalas.

Benar, 'kan? Itu sekadar perumpamaan, jangan terlalu api bila kamu memang tidak terobsesi padanya. Dan ketika obsesi itu tidak berujung dengan penyatuan hati, sumpah serapahlah yang akan dialamatkan tanpa berpikir milik siapakah salah itu. Mungkin di kamus idiotlogi Anda, saya sok tahu. Terserah.

Siapa bilang? Saya pernah mencintai kok. Tapi tidak memiliki pada akhirnya. Dan saya tidak membenarkannya sama sekali. Eits! Saya perjuangkan dengan seluruh pendar hati yang teramat padanya. Namun seperti yang saya katakan, cinta akan melepas di kala bahagia tak dapat kita berikan lagi. Bukan karena saya tidak bisa tapi karena saat itu saya ngilu melihat senyum yang tak pernah saya dapatkan ketika bersamanya. Biarlah pesakitan ini menjadi milik saya seutuhnya tanpa harus berbagi dengan yang lain. Karena saya sendiri yang mencintainya, memilih 'tuk mencintainya. Ya, memutuskan untuk melepaskannya jua. Anda tidak tahu siapa saya, jadi lebih baik Anda berhati-hati bicara lain waktu.

Jalani saja hidup Anda dan tenunlah hati Anda sebaik mungkin sebelum langit meruntuhkannya. Mungkin ini masukan saya yang Anda pikir tidak masuk akal. Bahwasanya Anda hanya mengenal putih dari cinta, dan belum dengan hitamnya. Jadi bersiaplah menghadapi pasang dan sahara yang badai.

"Semua itu sudah pergi dengan sendirinya. Ingat, bumi terus berputar."


Biar samudra yang mengurai rindu pada perempuanmu sebelum kilatan ombak mereguk kasihnya yang tak mengecup keningmu. Jangan menyangkalnya, Anda tidak tahu apa yang ada dibenaknya. Bagaimana bisa Anda katakan ia tulus bila tulus itu tak dapat diukur dengan kuantitas? Lidah tidak selalu harus melukiskan yang di hati, bukan? Semua orang memiliki kemungkinan dan hak untuk berbohong. Tiada yang mustahil, camkan itu. Halnya bumi yang tidak hanya berputar mengelilingi matahari, tapi juga berputar pada porosnya. Bumi membiarkan Bimasakti saja yang mengetahuinya tanpa harus menceritakannya pada Andromeda ataupun Triangulum.

Anda itu bukan Tuhan. Saya juga memang bukan Tuhan, melainkan Lucifer yang pernah melayani Tuhan sebelum dilempar ke dunia terkutuk ini. Saya tahu rencana-rencana Tuhan dan percayalah, taktik Tuhan tak pernah berubah. Manusialah yang berharap terlalu dalam dan ketika Tuhan mengabulkannya, mereka akan berharap lebih jauh lagi. Tapi begitulah, mereka akan murka ketika Tuhan memiliki rencana tidak sesuai dengan rencana mereka. Seolah-olah dalam sekejap Tuhan *maaf* tuli dan dunia akan kiamat karenanya. Aneh, bukan?

Ya, saya pernah menjadi salah satu manusia itu. Tapi, saya tidak punya pengalaman pahit. Karena semuanya begitu pahit untuk saya ingat kembali. Baiklah, satu saja. Pernah saya tuliskan beberapa sajak di bagian belakang bukunya. Entah dia membacanya atau tidak sebab dia tidak pernah membicarakannya. Tidak, tidak mungkin dia tidak tahu itu tulisan saya sebab saya menuliskan nama saya. Lalu, saat saya mencarinya kembali untuk menghapusnya, halaman itu tersobek. Saya ingat jelas saya menuliskan di catatan Fisikanya yang biasa saya pinjam sepulang sekolah.

Akhirnya, beberapa tahun kemudian ketika kami bertemu kembali, saya memberanikan diri untuk menanyakan apakah ia membaca tulisan saya. Dia menggelengkan kepala. Lalu saya menuliskannya kembali di selembar kertas. Memberikannya. Ketika ia membacanya, tak lama ia mengeluarkan sobekan kertas yang isinya sama dengan sajak yang baru saya tulis. Nano-nano. Lantas, mengapa menjadi sedemikian pahit? Karena nama di atas kertas itu bukanlah nama saya, melainkan nama seorang perempuan yang tidak lain istrinya sekarang.

...

Aku memimpikanmu
Menari di atas sukma dan legam yang telah kusurutkan
Menembang di bawah sadar dan di luar kehendak
Bukankah seharusnya bayangmu pergi bersama ragamu?
Lantas
Mengapa malam kemarin menuntun parasmu kembali
Pada rongga hati yang baru saja ingin terlelap?

Aku tak ingin terlalu padamu sekali lagi
Tak ingin eja namamu kesekian kalinya
Tak ingin tapaki jurang
Yang pernah robek hati dan menelan seluruh hasratku

Oh sungguh!
Aku tak ingin simpan sunyi padamu
Tak bisakah untuk sesaat langit berpihak padaku?
Atau tanah sekadar membela rusukku?
Wahai udara
Lapangkanlah aku untuk memangku bulan
Bulan yang dia

Perihal hati yang kamu acuhkan saja sudah seharga rindu
Bagaimana dengan hati yang kamu kecup?
Seharga lara mungkin doaku ini

...

Memang saya salah karena saya menulisnya dengan sebuah pensil kayu. Tapi sudahlah, cinta tak selamanya bahagia. Sederhana, bukan? Tidak ada yang perlu dipersulit. Hidup sudah sukar, untuk apa memikirkan cinta lagi? Sayang, budaya dan lingkungan manusia sendiri yang menuntut kita menimbang tentang kompleksitas dari kesempurnaan cinta yang sebenarnya tidak dipandang dengan hati tapi dengan logika mereka. Logika dari otak-otak yang menyetir jalan hidup kita.

Begitulah bumi. Bumi yang bulat tanpa bisa lebih ditumpulkan lagi. Merumuskan mayoritas sebagai tolak ukur yang diskriminatif bagi kita sebagai protagonis dalam kisah kita sendiri dan dijadikan nilai perbandingan yang bersifat simbiosis mutualisme bagi pihak mereka akan segala sesuatu yang tak bisa mereka tumpulkan sebenarnya. Namun, karena mereka tak dapat menumpulkan argumen kalangan minoritas yang didukung dengan kelugasan bermakna, maka mereka meruncingkan pernyataan mereka yang radikal. Mengganggap tabu diluar titik persamaan yang mereka patenkan. Layaknya putusan hakim yang mutlak. Sayangnya, segala kisi bumi yang runcing akan tumpul dengan sendirinya tanpa harus dipertanyakan lebih lanjut.

Sudahlah. Biarkan saja. Saya hanya tidak ingin mereka mematahkan rangkaian pengalaman yang menjadi guru bagi saya selama ini. Sebab mereka bukanlah saya. Hidup mereka bukanlah kepunyaan saya dan begitu juga sebaliknya. Hidup saya bukan untuk dituntun oleh mereka yang membentuk pemahaman dari pengalaman orang lain yang tidak mereka alami sendiri. Mereka membangun pemikiran spontan atas apa yang didengar mereka hanya karena masuk akal tanpa mencoba melihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga setiap kali saya mengembalikan pernyataan mereka dan mereka tidak sanggup memukul kembali, mereka akan mengatai saya keras kepala.

Dulu saya memang jauh lebih batu ketimbang barisan karang di bibir pantai. Maklum, saya anak perempuan satu-satunya. Seolah-olah saya memiliki hak untuk manja, egois, dan labil. Pernah satu kali, saya menukar buku PR kakak saya dengan buku tulis kosong hingga tangannya dipukul dengan penghapus kayu oleh gurunya karena dituding tidak mengerjakan tugas. Itu adalah perasaan luar biasa yang saya sesali. Seluruh anggota keluarga saya menceramahi berjam-jam. Saya muak karena mereka terus memojokkan saya. Tapi, kakak saya hanya mengelus kepala saya, mengecup kening saya dan berkata dengan pelan, "Kakak tidak apa-apa. Kamu jangan nangis lagi ya."

Ah, Tuhan! Mengapa anak kecil tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk? Bukankah polos bukan berarti bodoh? Saya benci, Tuhan. Saya sangat membenci masa kecil saya yang bodoh! Ya, secara tidak langsung kakak saya yang mengajarkan kesederhanaan dari cinta itu. Sepertinya memang begitu. Andai saja ada lelaki seperti dia, akan saya pinang lelaki itu! Oh Tuhan, lagi-lagi orang yang Engkau ciptakan ini tidak menggunakan otaknya. Bila seluruh rumput berada dalam tempurung, bagaimana kuda bisa mencarinya? Memang, kuda yang mencari rumput. Tapi tentu rumput dapat menarik kuda dengan kehijauannya, 'kan?

Sekarang apakah saya masih keras kepala? Ya. Otak kanan dan otak kiri saya tetap adanya, meski kedewasaan mematangkan semuanya tapi tidak berarti saya bisa sempurna. Saya tetap memiliki kekurangan dan hati. Karena kakak saya, saya belajar tentang banyak hal. Berbagi, memahami, bahkan berkorban. Ya, mengorbankan dengan akal sehat bagi cinta yang tidak harus berseteru. Mungkin kata orang, kita harus berseteru hebat dulu untuk menghargai keberadaan satu sama lain walaupun bukan hukum wajib. Tak tahulah, untuk yang satu itu saya tidak bisa menjawabnya. Sebab saya belum melewati tahap itu, saya terjebak dan harus memulainya dari awal kembali.

"Jikalau nyawa seharga kamu, cinta tidak lebih dari kumpulan rumus elektron."


Sebenarnya tidak rumit. Hanya manusia sebangsa dan setanah air kitalah yang merumitkannya dengan skala prioritas apa yang harus dilakukan dan untuk apa melakukan. Padahal bila dilihat, cinta itu hanya perlu dijalani tanpa memaksakan diri. Cinta itu tidak semegah yang mereka gambarkan. Semua orang bisa dan berhak merasakannya tanpa harus dibatasi. Semua tergantung pada objek tersebut. Perjuangan dan perbuatan akan kembali pada mereka. Jadi, bukan sekitar kita yang menilai tapi seseorang itulah yang pantas memberi apresiasi bagaimanapun bentuknya.

Memang benar, cinta itu hati yang rasa tapi kudu melihat konsep realitas juga agar tidak dibutakan oleh cinta itu sendiri. Haha. Saya teringat. Adik kelas saya mengatakan cinta itu buta. Tapi ketika saya bertanya tahu dari mana cinta itu buta bila mereka tidak punya bola mata, ia menjawabnya tentu karena mereka tidak punya bola mata makanya mereka buta. Tapi bukankah buta itu adalah disfungsi dari bola mata untuk melihat?

Haha. Sudahlah, bumi semakin pekat setiap harinya. Membangun banyak pemikiran-pemikiran tinggi yang tak memiliki pondasi. Semoga saja bumi ini tidak ditumpulkan oleh isinya sendiri. Ditumpulkan oleh pemikiran tunggal macam mereka yang serabut dan tanpa kambium untuk berkembang.

Ya sudah, titip salam jujur dan terbuka saja pada kekasih Anda. Saya hendak tidur dulu. Anda juga harus tidur untuk bangun pada esok harinya dan menyampaikan salam saya kepadanya. Jangan terlupakan, ya.

Comments