Bertemu Bulan yang Satu, Bulan yang Dulu

Bahagia tercipta. Daun-daun yang meranggas lekas tumbuh kembali untuk merindang. Jantungku berpacu dengan derasnya hati yang mendadak membisu. Terpaku pada kesempatan yang mempertemukan kita. Oh ilalang, biarkan aku melepaskan rasa gundah yang selama ini bersarang dalam dadaku.

Mata terpaut di antara jarak yang menyembunyikan riangnya diriku. Bibir hendak berucap pada kehadiranmu yang sekejap. Getaran yang terasa pun rasanya tumpah ruah bahkan mengguncang kepingan-kepingan hatiku yang masih tersisa. Inilah yang kucari. Sesak yang menyenangkan. Bukan sesak saat kau memeluk perempuan lain. Bukan sesak saat kau mengukir kisah baru dengan perempuan lain. Bukan sesak saat kau tak pernah memberi kabar atas dirimu. Namun, sesak yang membuatku tak ingin padam dan ingin terus bersenandung dengan senjanya hari.

Terima kasih Bapa. Aku mengucap syukur atas kesempatan yang Engkau berikan di tengah riuh dan waktu yang sebelumnya tak pernah memberi kesempatan. Keyakinanku berbuah dengan hari itu, hari dimana aku tak ingin melupakan garis wajahnya. Sebab aku tak tahu, kapan lagi kami akan dipertemukan. Mungkin esok pagi, pekan depan, atau mungkin tidak sama sekali.

Ah, apa pula yang perlu ku khawatirkan? Selama ini, aku hanya mampu bertemu dengan bayangannya. Jadi, bertemu dengan dirinya saja sudah cukup menggemakan hatiku. Bertemu dengan matanya yang menatap mataku dengan lekat dan pandangan penuh. Walaupun aku tak menemukan kebahagiaan di matanya saat bertemu denganku. Mungkinkah ia tak senang dengan pertemuan ini?

Tak perlu menyapa atau berbincang. Tak perlu senyum atau jabat tangan. Hal yang kutahu adalah ia masih mengenalku. Ia sudi menatapku saja sudah merupakan keajaiban. Aku tahu, malam selalu mendengar dan tak pernah lelah mendengarku. Aku tahu malam, terima kasih sudah membisikkan doaku pada bulan. Pada bulan yang dulu, yang pernah kukasihi.

Ilustrasi (sumber: alzheimers24-7.com)