Merapikan Serpihan Hati

Malam bulan. Sudah lama aku tak mendengar berita tentangmu. Apa kabar? Apa kamu pernah merindukanku di suatu malam? Aku berharap kita masih dapat bertemu dalam keadaan yang baik-baik saja. Ya, kalau kamu juga memang berharap seperti itu. Atau mungkin kamu tak pernah mengharapkan kabar tentangku atau tentang asa kita yang tak pernah kuucapkan. Jikalau memang begitu adanya, berarti aku hanya tanah gersang yang menumbuhkan seribu retakan pada malam yang sunyi. Wahai para nabi, sebegitu laknatkah aku yang dulu dalam catatanmu?

Atas palung rindu yang pernah kuberikan, jangan sekali-kali kau kembalikan. Sebab sudah tak ada lagi tempat yang tersisa. Biarlah hidup di antara kasihmu yang kau curahkan pada palung kerinduan lainnya. Tak jadi masalah. Aku sadar telah gelap, digelapkan oleh bintang malammu. Namun, maafkan aku, bintang malam. Bak relungku yang hancur, aku pun hancur. Hancur. Tetapi tak benar-benar hancur untuk merindukan bulanmu. Bulanku yang dulu. Ah betapa bajingannya aku, masih berani menyisakan rindu untuk seseorang yang sudah bukan milikku.

Jangan kutuk aku, bintang malam. Maaf apabila aku pernah berucap untuk mengutukmu, tapi semua itu tak sesungguhnya terucap. Sekadar pemikiran buruk yang tak kuhidupkan dalam kata-kata di bibirku. Tanpa kutukanmu saja, aku sudah menderita dalam jarak yang melewatkan aku dan lelakimu di setiap kesempatan. Keindahan yang tak surut dalam lembayung khayalku, hanya semakin tipis cahaya di tepi kerinduan karena lama tak berjumpa. Aku tak pernah meminta sengsara yang sebegini merananya. Namun bagaimana bisa aku berjalan dengan kedua kakiku dan kedua bola mataku, bila sebelah kepingan hatiku saja tertinggal di balik bayang dirinya?

Kepergian purnama di malam lain, haruskah kukejar? Bulan, kembalilah. Ajarkan kembali aku bernapas. Aku lelah menarik napas berulang-ulang, yang kudapat hanya kumpulan sesak antara debu lara. Aku meradang jadinya, hingga nyaris kuiris leherku dengan potongan hatimu yang tertinggal padaku. Terserah mereka mau bilang apa, toh cuma kamu pendukaku sekaligus pelipurku.

Berbahagialah kamu bintang malam, penghias gulita. Sebab aku pernah membayangkan betapa bahagianya menjadi dirimu yang setiap kali dapat memandang lelaki itu tanpa harus bersembunyi. Ya, tanpa harus mengintip di belakang bingkai jendela atau berlari-lari kecil hanya untuk melihat tawanya.

Tak perlu kamu risau sebab bertahun-tahun telah aku coba mendaki untuk meraih bulan, tiada lelah sebelum mataku terpaut padanya. Namun, bulan yang terus berlari, bersembunyi, berpacu dengan benda kecil bercahaya yang kulihat dari bumi. Apa pula namanya. Bintang, ya itu dirimu. Jadi, memang bulan tak menghendaki keberadaanku.

Sayangnya, aku tak pernah layu. Untuk kesekian kalinya, biar langit runtuh kembali sampai-sampai membunuh setiap bulir pasir di bibir laut, nyawaku tetap satu pada deru ombak yang terus bergulir di samudera. Bahkan napasku tak hendak bertepi walau terbatas pada waktu yang telah memisahkan aku dan lelakimu. Sebab hidupku masih membara di tengah malam yang legam.

Perihal hari yang berakhir dengan senja merah saja sudah membuatku peluh, bagaimana dengan malam penuh bintang? Mungkin aku akan meluruh dalam diamnya hari. Ya ampun, mengapa sesak di dada tak pernah mau mengerti?!

Sedemikan melatanyakah aku yang memuja bulanmu dalam kumpulan tangis yang tak menderu? Sungguh entah harus bagaimana lagi aku menenangkan rindu yang tekun bergetar dan menjeritkan namamu. Langit runtuh di tengah purnama, mengubur kisah demi kisah, membisukan malam dan aku. Sejauh mata memandang, hanya kehampaan yang menatapku, mengaku pembenaran di akhir kisah aku dan lelakimu. Tentang kami yang tak mungkin bersatu. Tentang kami yang memang layaknya berpisah.

Karenanya, dengan begitu aku tak memiliki kenangan di halaman bukuku. Kosong tak terukir apapun. Menjadikan aku semakin sekarat dalam kisah. Berusaha mengarang sesuatu yang hilang pada nyata. Mengumpulkan pecahan-pecahan relung yang tersapu ombak. Relung yang tak pernah dikecup oleh bulanku. Maaf, bulanmu.