Red Latte

Dok. Elsa Sisters

setahun setelah tiada kita, seorang kawanmu menghampiriku dan berkata sebuah kerancuan yang enggan kumengerti. konon, aku ini hanyalah segumpal nama yang menggelinding dalam pertemananmu demi kesenangan semata. sebuah pertaruhan yang jelas kau menangkan secara nyata, bajingan. aku pilih tak percaya pada perkataan semacam itu. lantas, apakah benar akan pesan singkat yang kau kirimkan padaku malam itu? apa yang sesungguhnya kau sembunyikan hingga kau putuskan untuk akhiri semua dengan jarak?

ya, jarak yang bukan koma ataupun titik bagiku. melainkan tanya yang sesekali taburkan gundah dan risau di pelupuk rindu nyaris layu ini.

tak pernah kutanyakan padamu. sebab aku sadar kini kau tengah menyeduh hati di pelabuhan lain. namun, secangkir kopi yang berada di seberang mejaku enam tahun lalu masih tertinggal. hitam, pekat, dan dingin tanpa mampu kubaca kembali. sementara vanilla latteku masih terasa hangat. merah, pekat, dan syahdu. namun aku belum sempat menyeruputnya, masih ada ketiadaan yang harus kunanti. entahlah kapan bisa aku beranjak dari bangku merah petaka itu.

adakah orang yang hendak mengangkat kopi di seberang mejaku ini?

halo? siapapun.

Comments