Rumah yang Hilang
Dok. Pribadi |
karenanya aku hanya ingin berjalan dibawah pohon yang mengulurkan temaram lentera-lentera merah, kuning, hijau terbuat dari dasar aqua gelas pada anak dahannya. melintas di antara keramaian sambil mendengar sebuah puisi panjang bukan tentangku atau untukku, namun lahir dari penyair yang ingin kukenal lebih palung. lalu duduk di pinggir pantai dengan ombak yang mendebur sesekali bersama sekantong kacang, dua botol soda, beberapa potong biskuit, serta buku sajak sapardi yang sederhana manisnya. pun tentu ada karangan tere liye, seno gumira ajidarma, dan aan mansyur kepunyaannya.
sebab aku merasa jauh dari rumah sekalipun tinggal dalam bangunan yang orang lain sebut itu rumah. aku tak alami kerumahan yang sedemikian candu. rien ne vaut son chez-soi. barangkali aku terlampau serakah dan tak tahu diri. bisa jadi. atau barangkali aku sekadar perlu pejamkan mata sambil memeluk perasaan berserakan ini dan menghela napas berat nan panjang di sudut tergelap yang hening dalam hampa dan mengingat apa yang aku alami dalam rumah sebelumnya untuk menjadikan tempat ini sama hangatnya.
apakah itu mungkin? mungkin. mungkin aku perlu mengemis perasaan syukur atau belajar kembali mencintai, belajar lupa akan bagaimana cara menangis diam tanpa kata. bersandar pada pendirian-Nya yang tak pernah sanggup kuterka.
entahlah. kali ini aku ingin berlari ke sebuah sudut terpencil dari baris-baris sajak rapat. menunduk dan tinggalkan seluruh kelam yang berdesir untuk mereguk ikhlas sejenak. membiarkan gadis ini tumpahkan rindu yang tercekat. rindu yang semestinya tak abadi. kali ini saja. aku ingin menelanjangi malapetaka pilu. melucuti paksa bimbang yang tanggalkan jeda luas.
apakah itu mungkin? mungkin. mungkin aku perlu mengemis perasaan syukur atau belajar kembali mencintai, belajar lupa akan bagaimana cara menangis diam tanpa kata. bersandar pada pendirian-Nya yang tak pernah sanggup kuterka.
entahlah. kali ini aku ingin berlari ke sebuah sudut terpencil dari baris-baris sajak rapat. menunduk dan tinggalkan seluruh kelam yang berdesir untuk mereguk ikhlas sejenak. membiarkan gadis ini tumpahkan rindu yang tercekat. rindu yang semestinya tak abadi. kali ini saja. aku ingin menelanjangi malapetaka pilu. melucuti paksa bimbang yang tanggalkan jeda luas.
musim akan segera berganti, bukan? oh penghujan, kapan kemarau ini bergegas menjauh?
Comments
Post a Comment