Masihkah Kau Mengingatku?

Masih ingatkah kamu dengan keberanian seorang gadis yang pernah mengasihimu? Oh maaf, aku lupa. Sekarang dia adalah seorang keparat yang mengutuk kasihmu dan kasihnya. Keparat kecil yang dulu kau tinggalkan.

Ini bukan salahmu. Tapi ini juga bukan salahnya. Pun aku tak menyalahkan jagat raya yang mempertemukan kita dalam singkatnya waktu. Aku hanya ingin bertanya, mengapa ada sepengggal rasa sakit yang tertinggal di dadaku. Tapi aku hanya sekadar debu yang selamanya menjadi tanya. Oh Nyi Roro Kidul, temanilah aku bercerita.

Beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya aku berbagi dengan matahari. Sepatutnya aku tertawa mendengar lelucon mengenaiku dan untukku bahwa aku menangis karena dia memutuskan hubungan. Padahal itu tak sesungguhnya benar. Namun ada sebagian dalam diriku menyangkalnya. Aku meringis.

Aku berjalan menjauh, mencari sunyi dimana aku bisa menikmati kesendirian. Dengan buku dan pulpen di atas pangkuanku, aku tetap mencoba mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Tapi pandanganku kabur, segalanya menjadi tak jelas. Ternyata aku menangis menahan pilu dengan air mata yang telah menggenang di pelupukku. Lebay memang tapi sesungguhnya aku tak kuasa menahan sesak dalam napasku, kembali lagi. Sesak di dada, seperti dulu ketika ia melangkah pergi.

Aku sadar, dengan jelas. Bulanku takkan kembali sebab telah terbelenggu oleh bintang malam yang terlukis indah dalam samudra kehidupannya. Padahal aku giat menyatukan tangan dan berlutut pada dinginnya malam agar mengembalikan dia padaku, bukan pada bintang malam itu. Entah dia benar-benar bintang malam atau bidadari, sesampainya kamu merengkuhnya. Karena dia, segenap rindu dan kasihku padamu menjelma hamparan rumput yang hampa. Keadaan yang sungguh memporak-porandakan duniaku.

Aku bertanya pada diriku. Pernahkah aku melakukan kesalahan? Atau mungkinkah kubawa dirinya pada gemuruh angin yang mengombang-ambingkan dada di setiap pertemuan? Seperti apakah diriku hingga dia dengan rela melepaskanku?

Mungkin benar apa yang dikatakan mbak Herlinatiens. Bukan mungkin, tapi memang benar adanya. Dunia hanyalah bebatuan kosong dalam ruang pengap. Sebuah sistem kebetulan dan kepecundangan yang menciptakan banyak ketololan. Pun dengan aku. Aku seperti bangsat kecil yang sial. Aku hanya sebuah tanda koma yang menajiskan setiap orang yang mengenalku.

Sekarang, haruskah aku mendoakan yang terbaik atas hubunganmu? Bagaimana bila itu hanya sekadar ucapan? Atau bagaimana bila di dalam doa itu tak tersimpan ketulusan?

Dengarkanlah aku sayang, hanya satu pintaku agar kasihku tetap hidup. Bila memang ini yang terbaik bagiku, bagimu dan baginya, berbahagialah dimana aku tak dapat meraih kebahagiaan itu. Agar tangisku tak memekikkan gunung-gunung di dasar laut, memecahkan gaung di semesta, hingga menjadi duka tak berkesudahan di antara dadaku.

Ilustrasi (sumber: vemale.com)

Comments