Lembaran Tiada Nama (1)

(Dok. Pribadi)
Sebelum saya menulis semua ini, kerangka pikiran saya terlanjur membentuk sebuah gubuk renta yang dengan giat saya sangkal berulang kali dalam proses penulisan ini. Je ne pense pas que ça va marcher. I knew how it's gonna end and therefore I prepared myself to not be a fool because he's out of my league.

Jangan khawatir, tiada nama siapapun akan saya bubuhkan dalam cerita ini yang sejatinya hanya akan mengundang rasa tahu. Sebab nama hanyalah identitas, saya kira nama sungguh tak memiliki harga dalam cerita ini.

***

akhir-akhir ini, aku mulai mengingat. bagaimana bunga-bunga tumbuh bermekaran memamerkan masing-masing warna kelopak indahnya. saling beradu pikat di bawah terangnya cahaya matahari maupun sinar rembulan. aku ingin meraba kembali terjalnya sebuah lembah yang dihimpit oleh bunga-bunga tersebut. selepas bertahun-tahun aku tak merasakan apapun lagi sampai aku menjenguk kampung halaman kedua orangtuaku.

kota ini jauh lebih bercahaya ketimbang kota sebelumnya yang kutinggali. jauh lebih provokatif dalam dimensi penataan infrastruktur, pendidikan, hiburan, bahkan pola pikir masyarakat setempatnya. diluar semua itu, kukira kota ini akan menjadi kota biasa dan penuh tekanan, tapi tidak. belum genap seminggu, kota ini telah menumpahkan tinta merah atas lembaran hatiku. dan aku enggan melupakan bab yang satu ini, walaupun barangkali akan kusesali dengan kesungguhan tiada tara.

suatu hari di pukul 5 pagi setempat, bulan bentuk sabit begitu malu meradang di balik kabut sendu. dengan kepedulian yang sama pernah membuatku terluka sebelumnya, aku begitu remuk malam itu untuk menyembunyikan perasaanku yang telanjang di hadapan bulan. kami duduk di sebuah anjungan dan dinginnya udara melemahkanku. aku sungguh ingin menyandarkan bahu di antara waktu yang kami tunggui hingga matahari mulai menguap di timur.

bahkan ketika aku duduk di sampingnya sambil melihat berbagai arah sementara ia tengah asyik dengan smartphonenya, aku spontan mengangkat tanganku dan merapikan beberapa helai rambutnya yang berdiri terpisah. ia tersenyum entah mengapa. pun denganku yang entah mengapa ingin menghentikan waktu biar semenit saja.

sebelum demam tinggi tiga puluh delapat derajat, aku telah merasa sendiku ngilu pada malam sebelumnya. kala itu, aku hanya ingin bersandar dan akhirnya aku putuskan bersandar pada seorang kawan yang baru saja datang. benar-benar takkan jadi soal bila ia perempuan, tapi ia lelaki. ia bukan sembarang lelaki dan aku bukan sembarang perempuan. sekalipun aku menjelaskan perihal ini panjang lebar, tentu akan selalu ada yang menilai diriku sebaliknya, bukan? sebab sembarang sendiri memiliki arti berbeda di setiap penghakiman.

Comments