Akibat Yang Tidak Adil

Apakah aku memang ditakdirkan bahwa selalu menanggung akibat yang lebih berat daripada kesalahan yang aku perbuat? Mengapa aku yang harus pertama kali ditegur, diperingati, dan disalahkan oleh orang lain padahal ada orang lain pula yang melakukan kesalahan sama seperti yang aku lakukan? Bahkan ada orang lain yang lebih sering melakukan kesalahan yang sama berulang kali daripada aku, tapi mengapa aku yang selalu menjadi sorotan dan bulan-bulanan? Bagaimana cara aku untuk menghadapi semua ini, jika aku tidak diberi kesempatan seperti teman-temanku? Siapa yang harus menanggung semua akibat yang diperbuat orang lain? Aku sendiri? Bayangkan saja, aku baru melakukan kesalahan 2 kali, tapi aku seperti sudah melakukan beratus-ratus kali. Ibarat seperti 1 tetes noda di baju, terlihat seperti tinta yang tak dapat dihilangkan sekalipun dengan detergen.

Aku kecewa, sedih, takut, marah, kesal, bingung, dan merasa seperti boneka yang tidak boleh melakukan kesalahan satupun dan harus menjadi teladan bagi orang lain, tapi jika orang lain yang melakukan kesalahan seperti yang aku lakukan, mereka masih bisa mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri. Sedangkan aku? Aku merasa semua ini seperti diskriminasi, yang hendak memojokkan aku. Entah apa tujuannya (memarahi aku), mungkin membuat aku bangkit dan tidak jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, atau membuat aku terpuruk lebih dalam dan membiarkan orang lain bisa melakukan yang lebih baik dibandingkan aku, atau membuat aku diam di tempat tanpa kesempatan.

Hari ini, aku mengakui bahwa diriku memang salah dan pantas diberi hukuman. Aku tak mengerjakan PR IPS sehingga dihukum untuk melanjutkannya di luar kelas. Ini adalah kedua kalinya aku dihukum, tapi kenapa aku yang selalu dimarahi. Ada banyak temanku yang sudah berkali-kali dihukum, tapi.. "Ini lagi, Lourdes, kamu makin malas aja. Kamu juga udah jadi omongan guru-guru di bawah, tau gak? Kamu emang pintar, tapi makin naik kelas, kamu jadi gak jelas, jadi tambah malas. Liat itu Florin, dia emang gak pintar tapi dia rajin. Saya bisa aja kasih dia nilai 9. Kamu dengar gak?", kata guru IPS-ku (jika disebutkan, yang ada saya dituntut). Saya pun menjawab dengan nada ketus, "Denger". Perasaan saya jadi campur aduk tak karuan, apa lagi saya dibanding-bandingkan. Seolah-olah saya seperti sudah diberi label 'produk gagal'. Dengan perasaan meluap-luap, saya mengingat-ingat kembali kesalahan yang ia perbuat, bagaimana plin-plannya dalam mengambil keputusan, apa yang ia katakan kadang-kadang tak terwujud. Bahkan, saya masih ingat bahwa beliau akan mengoreksi tugas sehingga diharuskan untuk dikumpulkan pada hari Senin (bulan Februari 2010), yang pada akhirnya tidak dikumpulkan hingga hari ini. Tahukah beliau bahwa betapa susahnya mengerjakan tugas yang diberikannya, apa lagi tugas yang diberikan tak pernah sedikit. Kata-kata kotor pun terucap oleh bibir saya. Untung saya tak sampai menyumpahinya. Jujur, perasaan yang terpendam ini bercampur aduk tanpa akhir yang jelas. Aku coba untuk mengambil sisi positif dari semua kesalahan yang kuperbuat, tapi mengapa orang lain selalu melihat dari kacamata negatif dan mencap hal buruk dalam diriku?

Seakan-akan ia menganggap dirinya baik dengan tidak mau mengambil hak waktu istirahat saya dan teman-teman saya sehingga ia memberikan tugas tambahan, padahal toh waktunya tinggal 10 menit dari 30 menit untuk beristirahat. Setelah istirahat ada pelajaran Matematika, dan guru Matematika saya bingung melihat saya masih mengerjakan tugas pelajaran lain. Hingga guru Matematika saya bertanya "Kamu ngapain?". Langsung saja saya perlihatkan bahwa saya mengerjakan tugas IPS tanpa mengucapkan satu kata pun. Guru Matematika saya pun mengatakan "Kamu ini, makin hari makin malas aja", dengan mimik yang kecewa. Sejujurnya, guru Matematika saya ini adalah guru favorit saya karena kata-katanya yang langsung pada topik masalah tanpa berbelit, tidak seperti guru IPS saya. Entah apa yang saya sukai dari guru Matematika saya ini selain kata-katanya, namun jujur saya lebih merasa nyaman dengan guru Matematika saya ini, sehingga tak pernah ada satu kata pun, kata-kata kotor yang terucap untuk guru Matematika saya ini (dari kelas 7-9).

Saya semakin bingung, tapi untung saja tidak ada kata 'bunuh diri' yang terlintas dalam benak saya. Tapi, karena saya tidak menemukan jalan keluarnya, membuat saya semakin kehilangan arah. Rasanya ingin bersembunyi dalam kesedihan dan mengharapkan semua ini berakhir happy ending seperti film Cinderella. Saya semakin takut untuk melangkah, saya takut untuk menghadapinya, saya takut melakukan kesalahan, saya takut tak dapat kesempatan untuk memperbaiki diri. Tapi, saya tak bisa menyangkal bahwa semua ini kenyataan yang sukar (tidak bisa) dihindarkan. Bantu aku, Bapa. Bantu aku untuk semakin berani dan menjadikan semua ini sebagai pelajaran.

Jika Anda mengetahui solusi yang terbaik bagi saya, bantulah saya.

Comments