Sayang, Dengarkanlah Sayup-sayup Senja
(Dok. deviantart by julianpalapa) |
Sebab selama ini apa yang kau miliki? Egosentris tak terbatas. Sebuah bilangan radikal yang seringkali berusaha menempatkan pemahaman kepada setiap wajah bahwa dunia ini kotak. Sekumpulan elektron kosong yang terpental dari lintasannya dan bersifat tolak menolak dengan ranumnya petuah sekitar. Kelak, barangkali aku hanya mampu berdiri sebagai pohon teduh manakala kau kembali dengan menenteng ribuan kisah di atas bahumu pada suatu senja yang telah terlampau tua mengingat akan kita.
Senja yang mungkin takkan mempertemukan kita dalam ruang manapun.
Senja yang sepertinya tak pernah membuang-buang waktu untuk menulis tentang sejarah kita.
Kita adalah apa yang kita pikir, apa yang kita ingin, apa yang kita cinta, apa yang kita miliki di antara ada dan tiada tanpa mampu seutuhnya mengada ataupun lekang dengan sebenar-benarnya.
Sedemikian bulat bumi ini dengan birunya samudra tiada batas berusaha senantiasa menyimpan keramahan palung-palung paling sunyi. Bulat yang tak pernah kau lihat.
Maka, jelaskan padaku kali ini dengan segala isyarat maupun bahasa yang sanggup kupahami dan teruntukku saja. Apalah arti sebuah senjamu tanpaku?
Maka, jelaskan padaku kali ini dengan segala isyarat maupun bahasa yang sanggup kupahami dan teruntukku saja. Apalah arti sebuah senjamu tanpaku?
Konon, bila di antara kita mengasingkan diri, entah dengan bersepeda ataupun berjalan seorang tanpa keramaian tanpa hiruk-pikuk yang bergegas, maka akan kau dapati alunan sunyi di semesta raya. Sayup-sayup menggelitik dan berdesir dalam dada dengan tiada rumusan pasti. Hanya ada langit yang langit dan manusia yang manusia.
Lantas, adakah sekali saja gemuruh yang terus-menerus kau gemakan membisu sesaat demi mendengarkan sayup-sayup itu? Sudikah kau bergeming demi menelusuri getirnya sajak yang lahir dari jemari tandus ini?
Berhentilah, Sayang. Berhentilah mengotak-ngotakkan manusia sejenak.
Seluruh padang pedih akan pudar bila kau biarkan debur ombak dan kicauan burung menyapu semua itu, ditelan oleh kehangatan mentari yang selalu datang menyapa tiap harinya. Sungguh.
"Kau percaya itu semua?", tanyamu.
Aku percaya layaknya aku percaya akan pertemuan dengan ayahku. Aku percaya ia akan menyapa kembali di suatu senja begitu merah yang telah lama hilang. Aku percaya sekalipun orang berteriak bahwa senja itu telah lama meninggal.
Comments
Post a Comment