Dear Jim
Kekasih hati yang begitu setia menjadi sahabat, guru, rival, second brother, dan good looking guy-ku bertahun-tahun sejak kita duduk di bangku sekolah, apa kabarmu?
Kuharap senantiasa baik-baik saja untuk kesehatan, pun dengan labirin kehidupanmu. Aku paham bahwa jalan yang kau tempuh bukanlah jalan yang akan selalu baik adanya. Kendati demikian, aku ingin menjadi serakah sesekali seperti banyak orang lainnya, yakni berharap yang terbaik bagimu.
Tampaknya memang tiada yang mudah ditempuh, terlebih tatkala kita coba untuk mendapatkan suatu hal besar yang kita inginkan. Nothing worth comes easy, right? Tentu pasti ada orang yang memiliki jalan lebih sulit dengan pilihan terbatas ketimbang jalanmu ataupun sebaliknya. Namun, apakah penting bilamana kuperkarakan jalan mana yang lebih mudah atau sulit? Ya, ya. Aku tahu jelas jawabanmu. Lantas, sudilah agar kau teruskan pembacaan ini ke paragraf selanjutnya.
Kulihat akhir bulan lalu gambaran wajahmu tersenyum bersama teman-teman seperjuanganmu. Lengkap dengan topi toga dan jas hitam yang membalut tubuhmu. Bagaimana perihal hatimu, Sayang? Sebab kurasakan sukacita itu hingga ke dalam dadaku meski kita terpisah jarak yang tak kunjung merapat. Selamat atas kelulusanmu, kawan.
Hmm kali ini aku hanya ingin persoalkan teduh gemuruh hatimu, Sayang. Biar kujelaskan terlebih dahulu. Aku ingin kau tahu bahwa aku senantiasa terbuka atas kisah yang lahir dari perjalanan demi perjalananmu sarat warna. Kau bisa kapan saja bersandar padaku entah di musim apapun. Walaupun mungkin aku yang lebih rindu jatuh untuk singgah dalam kemah hatimu bercerita hal sepele sampai yang tak banyak orang ketahui. Sebab kau hanya satu tanpa keinginan untuk kusangsikan.
Aku tak ingat jelas di kelas berapa perubahan tinggi tubuhmu meningkat drastis saat kita masih mengenakan putih biru. Tapi, aku selalu mampu mengingat peristiwa yang kita lewati bersama. Ketika kita berdua mengikuti lomba cerdas cermat tingkat SMP se-Jakarta di kelas tujuh, ketika kita ingin duduk semeja dan sering dipisahkan oleh guru atau siapapun yang ingin duduk di sampingmu, bahkan ketika kita menangkup waktu dan membakarnya dengan berfoto ria bak model.
Apa kau masih ingat bagaimana caramu sarkasme kepada siapapun? Tak terkecuali terhadap Bu Rosa. Kala itu kita diharuskan menyusun laporan study tour per kelompok dan belau membahasnya satu per satu di depan kelas. Beliau mencoba bermain kata paling lihai untuk menyerangmu tapi kau malah menjawabnya 'terima kasih' dengan enteng dan ia hanya berdiri meninggalkan perkara itu tanpa tahu harus berkata apa lagi.
Oh! Satu hal menggelikan lagi. Tatkala kita hendak memasuki ruang guru. Kita akan berdebat mengenai siapa yang mengetuk pintu dan siapa yang bicara setelah berada dalam ruangan tersebut. Kau selalu melakukannya dengan siapapun, baik Lanny ataupun Philip. Hal ini masih senantiasa menggelitikku jika melintas di benakku suatu waktu. Tapi, kau sudah tak pernah melakukannya lagi sekarang, 'kan?
Pink will be the last color I choose in any conditions, actually. But, the pink you gave me that day like it's the best pink I ever had. Though years have been passed through until it got lost (sorry, honey!), I'm still in love with it. Perhaps you wonder what I'm talking about right now because we were so young to know we'd be apart like this, to keep that kind of little sweet memory 'till this age. It ain't a big deal if you already forget it, anyway. I just think you should know it was still there about nine years to remind me how blissful I am for having you by my side, even support every choices I made until now.
Dan tahun lalu kita hanya bisa menepiskan waktu dengan duduk berjam-jam di Starbucks kemudian berjalan sebentar sebelum duduk di taman lengkap bersama pemandangan alat-alat konstruksi, orang lalu-lalang, bangunan-bangunan tinggi dan kemacetan. Sampai malam turun dan kita memutuskan untuk ke McDonalds hingga kita berada di rumah pukul sepuluh. Aku ingin kau tahu, itu adalah hari panjang yang tak ingin kuakhiri. Because you are the universe I wanna live in forever, miel.
Tahun lalu kurapikan beberapa kata yang berserak menjelma surat kecil teruntukmu. Ya tentang dan bagimu saja yang membacanya. Kuputuskan untuk memberikannya padamu saja mengingat aku ragu apakah surat singkat itu sudi kau terima. Syukurlah saat itu kau menerimanya. Maka, untuk tahun ini aku ingin menghadirkan surat ini ke atas pentas blog sunyiku. Sebuah panggung redup tanpa penonton mengingat tiada bintang berkelip.
Bagiku, menampilkan surat-surat semacam ini adalah cara tersendiri untuk menyimpan kenangan supaya dapat kubaca kembali di tahun-tahun selanjutnya. Serupa dengan surat kemarin, agar sekiranya ingatan ini selalu hidup meskipun kini kita saling mengalpa dalam ruang kita masing-masing.
Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan semoga seluruh mimpi yang kau pupuk terwujud. Aku harap kita akan senantiasa menjadi seperti ini. Hubungan yang selalu kurindukan. Berdebat denganmu seputar politik, budaya, atau soap opera sekalipun. Terakhir, semoga kita dapat dipertemukan segera untuk memeluk cerita-cerita yang tak mampu kita kisahkan melalui obrolan kecil. Je t'aime, sweetheart!
Comments
Post a Comment