A New Window
Jeremia's Iced Coffee Americano (Dok. Pribadi) |
Oh mon Dieu, today was such a great daaay!
Saya bertemu kembali dengan seorang teman-guru-rival baik yang kurang lebih sudah hampir dua tahun tidak saya temui, Jeremia. Kami berbincang begitu banyak hal mulai dari keluarga, budaya, visa, realitas dunia kerja, future planning, dunia pendidikan sampai masa-masa sekolah. Dari Starbucks, berjalan kaki sampai duduk di bangku pinggir jalan dengan pemandangan alat-alat konstruksi dan kemacetan, hingga McDonald's.
I truly wish it could last longer, my bff...
Dari sekian banyak hal yang ia bagikan, ada satu hal yang bisa saya angkat dalam tulisan ini, ialah pengalamannya berlibur ke Jepang. Hal pertama yang bisa dipastikan adalah negara tersebut tampak seperti lautan manusia ketika lampu hijau khusus pejalan kaki menyala. Berbeda dengan di Indonesia, kendaraan yang melintas disana dapat dihitung dengan jari. Itupun mobil berukuran kecil yang mungkin hanya memuat paling banyak lima orang atau sepeda motor polantas.
Kedua, negara tersebut terbilang cukup aman. Bebas kriminalitas. Jauh dari kehidupan sosial yang tengah dihadapi oleh kebanyakan orang di Indonesia. Setiap keluar rumah, kita dituntut untuk menjaga dan lebih waspada terhadap barang bawaan kita bahkan diri kita sendiri. Sekalipun itu di lingkungan yang telah kita kenal bertahun-tahun lamanya.
Ketiga, transportasi umum yang sering digunakan masyarakat setempat adalah kereta bawah tanah atau yang lebih dikenal Tokyo Metro. Sambil memperlihatkan Tokyo Metro Map, ia menjelaskan bahwa berwisata ke kota Shibuya, Ginza, dan beberapa kota lainnya bukanlah masalah sebab transportasi tersebut sangat mendukung dari segi kecepatan dan ketepatan waktu. Pemotongan saldo Tokyo Subway 72-hour Ticket senilai 1,500 yen yang ia gunakan saat itu juga sangat singkat, pas sekali tempel.
Mengingat Indonesia belum memiliki semacam MRT (on process di Jakarta), jelas tidak ada perbandingan yang seimbang untuk Tokyo Metro sekarang ini. Saya hanya bisa berharap agar pembangunan infrastruktur ini berjalan lancar agar kelak dapat meningkatkan taraf kualitas kehidupan masyarakat setempat. Karena untuk saat ini, belum ada transportasi yang dapat dioptimalkan selain Transjakarta. Bahkan belakangan, transportasi seperti Grab, Uber, Go-jek jauh lebih diperhitungkan sebagai pilihan utama.
Keempat, orang Jepang tampaknya workaholic. Karena di jam berangkat kerja, Tokyo Metro dan jalanan begitu penuh sesak dengan lalu lalang para pekerja. Sementara di jam pulang kerja, agak lengang tidak seperti jam berangkat kerja. Berbeda dengan di Indonesia yang jam berangkat dan pulang kerja sama macetnya. Looks like Japanese people tend to work overtime.
Kelima, warga disana cukup tertib. Contohnya, ketika di eskalator mereka berdiri di sebelah kiri sekalipun mereka berdua. Lajur kanan khusus untuk orang yang memburu waktu. Selain itu, saat mereka mengantri kereta bawah tanah tiba, mereka mempersilakan penumpang turun terlebih dahulu. Tidak seperti kebanyakan warga Jakarta yang berdesak-desakan masuk Transjakarta padahal penumpangnya saja belum turun. Petugas Transjakarta harus berteriak beberapa kali mengingatkan mereka untuk memberi ruang bagi penumpang yang ingin turun.
Masih ada beberapa hal lagi yang bisa dijabarkan tapi ada topik tertentu yang belum bisa dipastikan kebenarannya mengingat itu adalah hal yang cukup tabu bagi saya. Jadi, saya cukupkan disini saja. Semoga tulisan ini bermanfaat!
Ketiga, transportasi umum yang sering digunakan masyarakat setempat adalah kereta bawah tanah atau yang lebih dikenal Tokyo Metro. Sambil memperlihatkan Tokyo Metro Map, ia menjelaskan bahwa berwisata ke kota Shibuya, Ginza, dan beberapa kota lainnya bukanlah masalah sebab transportasi tersebut sangat mendukung dari segi kecepatan dan ketepatan waktu. Pemotongan saldo Tokyo Subway 72-hour Ticket senilai 1,500 yen yang ia gunakan saat itu juga sangat singkat, pas sekali tempel.
Mengingat Indonesia belum memiliki semacam MRT (on process di Jakarta), jelas tidak ada perbandingan yang seimbang untuk Tokyo Metro sekarang ini. Saya hanya bisa berharap agar pembangunan infrastruktur ini berjalan lancar agar kelak dapat meningkatkan taraf kualitas kehidupan masyarakat setempat. Karena untuk saat ini, belum ada transportasi yang dapat dioptimalkan selain Transjakarta. Bahkan belakangan, transportasi seperti Grab, Uber, Go-jek jauh lebih diperhitungkan sebagai pilihan utama.
Keempat, orang Jepang tampaknya workaholic. Karena di jam berangkat kerja, Tokyo Metro dan jalanan begitu penuh sesak dengan lalu lalang para pekerja. Sementara di jam pulang kerja, agak lengang tidak seperti jam berangkat kerja. Berbeda dengan di Indonesia yang jam berangkat dan pulang kerja sama macetnya. Looks like Japanese people tend to work overtime.
Kelima, warga disana cukup tertib. Contohnya, ketika di eskalator mereka berdiri di sebelah kiri sekalipun mereka berdua. Lajur kanan khusus untuk orang yang memburu waktu. Selain itu, saat mereka mengantri kereta bawah tanah tiba, mereka mempersilakan penumpang turun terlebih dahulu. Tidak seperti kebanyakan warga Jakarta yang berdesak-desakan masuk Transjakarta padahal penumpangnya saja belum turun. Petugas Transjakarta harus berteriak beberapa kali mengingatkan mereka untuk memberi ruang bagi penumpang yang ingin turun.
Masih ada beberapa hal lagi yang bisa dijabarkan tapi ada topik tertentu yang belum bisa dipastikan kebenarannya mengingat itu adalah hal yang cukup tabu bagi saya. Jadi, saya cukupkan disini saja. Semoga tulisan ini bermanfaat!
Comments
Post a Comment