Harga Sebuah Mimpi
Ayah saya adalah seorang pemimpi besar. Beliau selalu mendorong anak-anaknya untuk tidak pernah cepat puas dengan menargetkan satu tingkat lebih tinggi dari kemampuan yang sebenarnya. Hal itu yang menyebabkan saya pernah bermimpi akan sesuatu sampai tiba satu malam yang jahanam.
Saya lupa bagaimana caranya bermimpi bahkan saya tidak tahu dimana keberadaan saya saat itu. Musim demi musim berganti membiarkan mimpi melayu dan terlupakan. Selepas kehilangan cakrawala, saya terus tumbuh meski tak berwarna secerah hari kemarin. Akan tetapi, Mas Hainar membangunkan saya dengan sebuah pertanyaan sederhana.
"Apa cita-citamu?"
Dengan lampiran seadanya, Ichi-san seakan tetap berusaha meraba sebisa mungkin. Entah Ichi-san sungguh-sungguh membuka blog dan membaca tulisan saya atau tidak (which I hope he doesn't get it at all), tapi tak pernah seorangpun sudi bertanya dalam dunia pekerjaan sampai sejauh ini tentang impian yang saya kandung. Bahkan, untuk menelusuri blog kecil saya.
Barangkali ini juga adalah salah satu perbedaan pola pikir orang Jepang dengan Indonesia. Niat awal Ichi-san ialah menempatkan saya diluar dapur agar fokus terhadap 'dapur' saya sendiri, sementara biasanya orang Indonesia memaksa saya untuk menyesuaikan dengan ruang yang telah tersedia tanpa melihat kapasitas dan kemampuan saya. Tentu hasil akhirnya akan berbeda mengingat proses pembelajaran juga dimulai dari titik yang berbeda.
Ini hanyalah berdasarkan pengalaman saya semata, pengalaman pribadi yang tentu berbeda pada setiap masing-masing individu. Sama halnya dengan harga sebuah mimpi yang besarannya kembali pada masing-masing tuannya.
Comments
Post a Comment